Tampilkan postingan dengan label literasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label literasi. Tampilkan semua postingan
Saya tak pernah menyesal pernah kuliah hingga S2—meski tak lulus—dan kini harus menjadi ibu rumah tangga jauh dari Jakarta tempat saya lahir dan mengenyam pendidikan. Pernah bekerja sebagai editor buku agama Islam dan mencicipi perkuliahan seputar filsafat membuat saya semakin mensyukuri bahwa pilihan saya pindah untuk menemani suami tidak pernah sia-sia. 

Memang ada fase penyesuaian dan keberatan di awal pindah, apalagi ketika mengenang sekeping fragmen masa lalu yang berkaitan dengan literasi. Sewaktu tinggal di Bogor, saya dan suami mengelola Bright English Institute selama kurang lebih 4 tahun. Meskipun namanya menyiratkan kursus bahasa Inggris, di rumah mungil kami puluhan anak juga belajar tentang menulis dan membaca.

Bright English Institute, belajar bahasa asing dan literasi agar punya attitude  

 
Ya menulis pengalaman mereka sendiri di atas kertas binder warna-warni yang kami bagikan secara cuma-cuma. Walau tak sempurna, mereka semangat menuangkan apa saja yang mereka rasakan; tentang teman, pelajaran, dan pengalaman sehari-hari. Sebelum pelajaran dimulai, mereka bebas membaca buku-buku anak yang tersedia di rak ruang tamu yang merupakan koleksi kami pribadi dan sumbangan seorang sahabat yang mengelola penerbit indie di bilangan Tanjung Duren, Jakarta Barat.

Selain itu, sesi mendongeng dan bermain jadi bagian paling dinanti karena mereka bebas mengekspresikan diri dan menyerap kosakata baru untuk berbicara nanti. Sayang sekali momen indah itu berakhir ketika kami pindah. Padahal orangtua yang kebanyakan buruh pabrik dan pengojek sangat bahagia anak-anak mereka belajar di tempat kami. Tak heran jika anak-anak kerap dititipi hasil bumi dari kampung seperti bawang, jagung, singkong, cireng, dan sebagainya sebagai kompensasi sebab kami tidak memungut biaya sama sekali.

Saung literasi dan gerebek pustaka

Pindah ke Lamongan, kami menyulap teras menjadi tempat belajar. Ada saung mungil berdiri di sana. Saung Literasi (SL) namanya, sebagai pengingat kami pernah tinggal di Bumi Pasundan dan bahwa kami akan mengajak anak-anak berinteraksi dengan dunia pustaka. Saung atau gazebo ini sejatinya adalah dipan yang dihibahkan oleh ibu. Untuk menghemat space di kamar tidur, kayu jati tua yang bermutu bagus itu pun kami susun menjadi saung dengan menambahkan atap dari asbes. 

Suami selalu bersemangat belajar bersama anak-anak dalam Saung Literasi.


Selain belajar bahasa Inggris, anak-anak yang datang ke saung masih menikmati bacaan, tak terkecuali kedua bocah kami. Belum lagi kalau sesi nonton bersama, anak-anak bergembiralah sebab mendapatkan pengalaman dari dunia baru. Bukan hanya belajar bahasa, tapi juga kepedulian pada lingkungan. Duo jagoan kami sering kami ajak berdiskusi, mulai dari tanaman cangkok hingga pohon trembesi.   

Karena anak-anak yang tergabung di Saung Literasi lebih sedikit dibanding anak-anak di lingkungan sekitar, saya dan suami pun berinisiatif membawa buku-buku koleksi SL ke masjid. Kebetulan suami menjadi pengurus TPQ (Taman Pendidikan Quran) di kompleks, maka dua keranjang sering dibawa selepas Ashar. Anak-anak begitu bersemangat meraih buku favorit mereka karena merasa mendapat selingan di samping pengajian.

Membaca buku sebelum mengaji? Sangat asyik dan bikin senang hati!


Minat anak-anak pada 'gerebek pustaka' ini mencerminkan optimisme literasi sekaligus negasi atas asumsi umum yang keburu meyakini bahwa minat baca orang Indonesia rendah. Dalam berbagai kesempatan, termasuk IG Live bersama Mice yang dipersembahkan JNEWS tanggal 12 November 2021, Kang Maman menegaskan bahwa minat baca bangsa kita sebenarnya tinggi. Ini terbukti dari tingginya permintaan kiriman buku ke daerah-daerah di seluruh Nusantara.

Kendala yang terjadi selama ini bukanlah rendahnya minat baca, melainkan sulitnya akses pada buku cetak yang memadai. Selain daya beli, ketersediaan buku selama ini nyaris sulit dijumpai di kantung-kantung yang sebenarnya punya basis pembaca. Bahkan saat e-book menjadi tren, kondisinya belum ideal sebab gawai dan sumber energi masih terbatas.

Sadar lewat literasi


Ketika kami punya kesempatan menularkan virus baca dan tulis, maka kesempatan itu tidak kami sia-siakan. Ini terutama dalam konteks mendorong remaja putri untuk berani bermimpi dan menggapai cita-cita tanpa takut terkungkung oleh bilik budaya. Dengan membaca, mereka tak lagi merasa tabu untuk meninggalkan daerah asal untuk mengenyam pendidikan tinggi. Dan yang tak kalah penting, mereka siap jika harus mengahapi bullying yang membahayakan diri.

Lewat bacaan pula mereka mulai menyadari bahwa perempuan bukan makhluk lemah dan sebaliknya punya potensi besar untuk memberikan kontribusi pada masyarakat. Fakta ini terjadi saat saya masih bekerja kantoran. Atasan saya langsung, yakni supervisor, adalah seorang wanita. Asisten supervisor pun seorang wanita. Belum lagi bagian HRD dan tenaga pemasaran andal, juga perempuan yang sangat diperhitungkan dengan kemampuan mumpuni. 

Kondisi ideal memang tak mudah diwujudkan. Di kantor ada seorang manajer yang cenderung meremehkan perempuan. Manajer ini membawahi sejumlah supervisor dari divisi yang berbeda. Nah, saat mengajukan cuti melahirkan atau haid yang sebenarnya dijamin UU, tak jarang kami dipersulit. Belum lagi kalau minta izin untuk keperluan lain yang masih memanfaatkan jatah cuti, dia sering tak kooperatif. 

Di mata manajer ini, pekerja perempuan tidak produktif karena sering izin ini dan itu. Nahasnya, prasangka itu berdampak pada pemberian bonus tahunan. Kami karyawan perempuan tetap mendapatkan bonus, tetapi nilainya di bawah pekerja lelaki hanya karena mereka sering lembur yang dipandang sebagai bentuk loyalitas. Bukankah aneh jika kami harus rela lembur sementara pekerjaan bisa kami tuntaskan pada jam kerja utama?

Potensi perempuan dalam mewujudkan kemajuan


Saya jadi teringat buku “Humanisme Bisnis” karya Eka Budianta. Suatu kali ia diundang untuk berbicara tentang usaha mengoptimalkan produktivitas pekerja perempuan. Menurutnya, topik itu cenderung bersifat seksis dan berpotensi "melecehkan" perempuan. Ia berdalih bahwa semua orang tahu bahwa di bumi tidak ada yang lebih produktif ketimbang perempuan. "Mau dioptimalkan bagaimana lagi?" sergahnya serius.  

Maka saya sepakat dengan Kang Maman yang dalam IG Live 10 Desember lalu menyatakan bahwa boleh jadi negara ini enggak maju atau sulit maju karena selama ini kita telah mengabaikan 50% potensi bangsanya yang luar biasa, yakni kaum perempuan. 



Berdasarkan data Kemenko PMK per Juli 2020, sekitar 60% dari 64 juta UMKM di Indonesia ternyata dikelola oleh perempuan. Ini terbukti valid karena saat pandemi para wanitalah yang berdiri kokoh sebagai penyelamat ekonomi keluarga ketika para suami kehilangan sumber nafkah. Mereka sangat adaptif dan tidak canggung ‘mencangkul’ lahan baru demi mendapatkan pemasukan baru.

Di kompleks perumahan kami, misalnya, beberapa bulan ini muncul seorang perempuan yang menjajakan sate ayam dengan berjalan kaki. Tanpa kendaraan, ia menyunggi sekeranjang daging tusuk dan menjinjing panggangan berisi arang yang mungkin masih menyisakan panas bara. Suami saya sampai berseloroh, “Mungkin aku sudah semaput jika harus melakukan itu!” Tanpa merendahkan kekuatan lelaki, kekuatan wanita jelas tak bisa dianggap sebelah mata. Sebab menurut kalkulasi kasar, ibu ini setidaknya menempuh minimal 10 km setiap hari dengan jalan kaki! 

Tak ada yang lebih produktif


Maka keliru jika perempuan selama ini hanya dikaitkan dengan urusan Pinggan (dapur), Pigura (penampilan), Peraduan (melayani suami), dan Pergaulan (gosip). Mestinya Teori 5P harus komplet: P terakhir harus dimunculkan guna menunjukkan kemampuan perempuan sebagai Pilar atau penopang bangsa dan kehidupan dalam pengertian seluas-luasnya. Kini perempuan bisa berkiprah dalam dunia usaha, dari pejabat kantor hingga pengelola blog yang profesional.

Saya yakin perempuan bisa berdaya jika kami, para perempuan, diberikan kesempatan sepenuhnya untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat sesuai kompetensi tanpa meninggalkan batas kepantasan atau konformitas sosial. Fakta membuktikan begitu banyak wanita yang berkiprah di ranah nondomestik seperti perusahaan sebagai pekerja profesional atau memegang peran kunci dalam berbagai komunitas sosial.



Semua bisa dimulai dari literasi kuat yang memungkinkan terjadinya kolaborasi antarpihak atau komunitas demi memicu kreativitas dan hidup penuh produktivitas. Terima kasih, JNE, telah mendukung geliat literasi lewat Kang Maman yang biaya pengiriman ribuan judul digratiskan. Kepedulian pada peningkatan literasi adalah kebahagiaan tersendiri untuk memberi ruang terutama bagi para perempuan untuk mengukir kemajuan sesuai kemampuan.
Apa sih yang terlintas dalam pikiran ketika ada yang menyebut tentang "theater of mind" dan kekuatannya dalam menghasilkan suatu karya, termasuk tulisan? Entah mengapa ketika ada yang menyebut frasa tersebut, saya lalu teringat pula pada kalimat yang populer di Facebook, yaitu "What is in your mind?"

Media sosial ini memang seolah-olah bagaikan teman akrab yang selalu siap untuk menjadi pendengar yang baik ketika kita punya sesuatu untuk dibagi, bahkan rahasia terdalam sekalipun. Tak heran jika ada Facebook milik seseorang yang isi tulisannya curhat melulu. 

Kata-kata "theater of mind" ini bagi saya memang sangat intimidatif dan seolah menjadi penguat bahwa mind (otak) merupakan salah satu dari bagian tubuh manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. 

Menulis itu membebaskan

Pertanyaan saya yang sudah lama terpendam ini seperti mendapat afirmasi ketika akhirnya saya mengikuti Live Instagram tentang Asyiknya Nulis yang Asyik bersama Kang Maman. Sungguh, banyak wawasan dan hal-hal baru yang bisa saya petik setelah ikut acara yang berlangsung pada Jumat, 8 Oktober 2021 ini. Oh ya, jika ingin mengetahui keseruannya, Sahabat Xibianglala juga masih bisa mengikutinya melalui Instagram @jnewsonline

Kang Maman atau Maman Suherman adalah seorang tokoh pegiat literasi sekaligus penulis buku prolifik. Tulisan-tulisannya sangat inspiratif dan mudah untuk dipahami semua kalangan. Hal-hal semacam ini tentu memunculkan pertanyaan, "Kok bisa sih? Kiat-kiat apa saja yang dimiliki Kang Maman sehingga bisa melahirkan karya yang cukup produktif seperti itu?" Bahkan pandemi pun tak menyurutkan produktivitas menulisnya. Terbukti Kang Maman masih bisa melahirkan banyak buku, termasuk buku "Bahagia Bersama" hasil kolaborasinya dengan Mice dan JNE. Wow! Saya akan tuliskan ulasan bukunya pada postingan tersendiri.

Di sela-sela mengikuti acara tersebut, terselip rasa kagum dan salut pada Kang Maman yang meskipun kini telah memiliki cucu dan aktivitas menulis, tetapi beliau tetap mengobarkan semangat besar dalam dunia literasi di Indonesia. Kegiatannya tersebut sering beliau bagikan dalam unggahannya di Twitter. Kita pun bisa melihat kiprahnya tersebut yang beberapa kali bekerja sama dengan JNE melalui jnewsonline

 
Pada, acara Live Instagram tentang Asyiknya Nulis yang Asyik ini, Kang Maman membagikan pengalaman dan rahasia menulis yang sudah dijalaninya selama ini. Sebagian besar yang disampaikan Kang Maman memang tidak bersifat teknis karena Kang Maman melihat bahwa peserta live IG ini adalah para penulis, wartawan, dan blogger yang tentu sudah akrab dengan dunia tulis-menulis. Dalam forum seperti ini, Kang Maman sungguh berharap bahwa para peserta seolah membawa gelas kosong yang siap diisi sehingga apa pun yang disampaikannya akan tertampung. Namun jika para peserta sudah membawa gelas yang sudah penuh, maka hal-hal yang akan disampaikan akan tumpah dan mungkin akan sia-sia. 

Bagi saya, hal ini merupakan sebuah pelajaran mengenai kerendahhatian bagi seorang penulis. Setiap penulis hendaknya bisa mengambil buah hikmah dari setiap momen, bahkan mungkin pengalaman yang bisa dikesankan atau dinilai remeh oleh sebagian orang yang lain. 

Mengabadikan pengalaman

Kang Maman menceritakan bahwa sering kali buah tulisannya adalah hasil dari pengalaman pribadinya. Sebuah pengalaman ketika perahunya terbalik ketika kunjungan ke sebuah daerah di Makassar (Sulawesi), pengalaman ketika penelitian untuk skripsinya tentang seorang perempuan seks komersial (PSK) bernama Re, pengalaman ketika ibunya wafat, dan lain sebagainya, semua itu bisa menjadi sebuah tulisan yang genuine dan mendapat apresiasi, bahkan kritik. Ia menerima semua reaksi dari tulisannya karena itu merupakan konsekuensi dari beragamnya pandangan orang lain. 

Menurut saya, Kang Maman melihat semua apresiasi, termasuk kritik tersebut sebagai sebuah "anugerah" karena justru dengan respon semacam itu ia bisa melihat sudut pandang yang lain, bahkan mungkin menjadi ide baru bagi tulisan-tulisan berikutnya. Tentu saja kita tidak mungkin mengharapkan hanya menerima pendapat yang setuju atau sejalan dengan pemikiran kita karena setiap orang memiliki jalan pikirannya masing-masing. 

Saya rasa mungkin tak sedikit orang yang merasa tertegun, shocked, atau ikut terhanyut karena relate dengan pengalaman beliau yang tergambar dari tulisan-tulisan Kang Maman. Tulisan yang merupakan pengalaman pribadi memang bisa menjadi tulisan yang memiliki kekuatan karena ditulis dengan penghayatan dan sepenuh hati. 

Kang Maman menceritakan bahwa dengan membuat sebuah "theater of mind", maka pengalaman-pengalaman tersebut seolah memanggil dan ia menuliskannya demi "mengabadikan sesuatu". Melalui tulisan pula, seorang penulis menjadi "voice of the voiceless" atau suara bagi mereka yang tidak bisa bersuara. 

Content is the king

Pada zaman di mana media sosial begitu luas cakupannya, maka kita memang sudah tidak perlu lagi mementingkan media tulisan yang berbentuk cetak atau digital karena "konten adalah raja". Kang Maman membuktikannya dengan cuitan-cuitannya yang sering diunggah di Twitter. 

Begitu banyak dan beragam reaksi netizen yang didapat dari tulisannya. Bahkan netizen pun sering ikut terpancing untuk menjawab di kolom komentar tentang pengalaman pribadi mereka, contohnya pengalaman mereka tentang ibu. Fenomena ini memperlihatkan bahwa banyak hal yang bisa diangkat untuk menjadi ide sebuah tulisan. 

Membaca adalah modal utama seorang penulis.


Meski demikian, ada rambu-rambu berupa 5R yang disampaikan Kang Maman sebagai penulis, yaitu Read (membaca), Research (penelitian), Reliable (ketepatan), Reflecting (merefleksikan), dan Right (benar). Seorang penulis haruslah gemar membaca, rakus bacaan apa pun termasuk konten digital di media sosial. Untuk menghasilkan tulisan yang bermutu, ia harus sudi melakukan riset sekecil apa pun, bahkan sesderhana jajak pendapat di akun medsosnya.

Penulis juga mesti menampilkan setiap data dengan valid, mulai dari ketepatan penulisan nama orang hingga pendapat narasumber yang tak boleh ditambah atau dikurangi. Agar tulisannya menarik, ia harus piawai memilih sudut pandang untuk mendekati pembaca dengan nyaman. Tidak mudah menghakimi hanya karena perbedaan perspektif. Terakhir, ia harus pastikan bahwa yang ia tulis adalah benar. Benar menurut keyakinan pribadi, kaidah umum, atau benar menurut kepentingan politik--semua harus jelas.  

Banyak mutiara berharga yang bisa ditemukan dari acara ini, tentunya hal ini kembali pada pengalaman dan pemahaman pribadi para peserta itu sendiri. Saya termasuk yang merasa sangat beruntung dan berterima kasih pada Kang Maman yang telah memberi wawasan baru. 

Setiap tulisan punya kekuatan

Ketika saya membaca buku Re untuk pertama kali, saya memang belum terlalu mengenal Kang Maman (ya, saya akui bahwa saya memang kudet, hehehe). Tapi buku itu jelas membuat saya tertohok dan merasa speechless karena hanya orang yang nekat (berani) terjun ke dunia malam seperti itu. Kang Maman sudah berani membuka sebuah kenyataan bahwa perdagangan manusia itu ada dan masih berlangsung hingga saat ini, detik ini. 

Pada akhirnya, setiap penulis memang memiliki cara mereka sendiri dalam memotret kenyataan di sekelilingnya. Namun, theater of mind itu bisa menuntun sebuah pandangan seseorang. Tak jarang sebuah tulisan juga bisa membuat perubahan sedikit demi sedikit, bahkan menginspirasi untuk mengubah sesuatu yang telah berurat dan berakar. 

Menulislah dengan jujur

Oh ya, satu hal lagi yang tidak mungkin saya lupakan dari acara live IG Kang Maman ini, yaitu ketika Kang Maman menjawab pertanyaan seorang blogger yang menamakan dirinya Belalang Cerewet. Entah kenapa Kang Maman pun menyebut Rumi ketika mengiringi jawabannya saat itu. Bukan sebuah kebetulan dan mungkin ini pun merupakan kekuatan sebuah pikiran. 

Saya penasaran, kira-kira apa yang ada dalam theater of mind Kang Maman jika mengetahui bahwa Rumi dan Belalang Cerewet itu merupakan ayah dan anak? Mungkinkah itu bisa menjadi ide bagi saya untuk menjadikannya sebuah tulisan? Tentu saja bisa. Saya pun tidak berhenti tersenyum setelah acara tersebut berakhir. Impressive pokokna mah! (bukan bahasa Jaksel).