Tampilkan postingan dengan label wirausaha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wirausaha. Tampilkan semua postingan

Di perbukitan batu kapur Gunungkidul, pagi baru saja dimulai. Kabut tipis masih bergelayut di ladang-ladang di Dusun Wonosari yang menampakkan barisan tanaman lidah buaya berwarna hijau segar. Di antara tanaman berdaun tebal itu, seorang lelaki bernama Alan Efendhi tampak berjalan pelan sambil memandang hamparan tanaman yang basah oleh embun. Wajahnya teduh, tapi tangan kasarnya menyimpan kisah panjang tentang perjuangan, kegagalan, dan keyakinan yang tak pernah padam.


Alan Efendhi mengubah tanah gersang Gunungkidul menjadi berkah bersama Aloe Vera. (Sumber: belitongekspres.disway.id)


Sambil memegang satu tangkai daun besar yang siap panen, ia mengatakan bahwa dulu ia sama sekali tidak tahu lidah buaya ini bisa menjadi apa. Tetapi ia tahu satu hal, tanaman ini bisa jadi sesuatu yang berguna dan bisa mengangkat kampungnya.


Kini usaha minuman berbahan dasar lidah buaya yang ia rintis, Aloe Liquid, telah menggandeng lebih dari seratus petani di Gunungkidul, Bantul, Sleman hingga Klaten. Setiap hari, sedikitnya 500 kilogram lidah buaya segar dikumpulkan dari para mitra untuk diolah menjadi minuman, keripik, dan manisan.


Namun, jalan menuju keberhasilan itu pada awalnya sama sekali tidak lurus.


Pemuda yang Tak Diharapkan Jadi Petani


Alan lahir dan besar di keluarga petani di Gunungkidul. Wilayah ini kerap disebut sebagai “negeri kapur” karena tanahnya yang kering dan miskin air. Ayah, ibu, kakek, dan neneknya semua menggantungkan hidup dari bertani. Tetapi, Alan sedari kecil sudah sering mendengar pesan yang sama berulang-ulang dari orang tuanya: “Jangan jadi petani!”


Bagi keluarganya, pertanian bukan jalan keluar dari kemiskinan. Alan mengungkapkan bahwa ia adalah anak yang tidak diharapkan menjadi petani. Musim kemarau panjang di Gunungkidul membuat sawah sering merekah seperti kulit retak, tanaman gagal panen, hasil tak menentu, dan sebagian besar pemuda akhirnya memilih menjadi buruh bangunan atau merantau.


Alan pulang dari rantau untuk menjadi petani sukses. (Sumber: kompas.id)

Orang tua Alan juga ingin anaknya punya masa depan lain. Setelah lulus dari SMK jurusan otomotif, Alan pun berangkat ke Jakarta dengan selembar ijazah di tangan dan harapan sederhana di dada, yaitu menjadi karyawan pabrik.


Namun, nasib berkata lain. Tidak ada satu pabrik pun yang mau menerimanya. Puluhan lamaran dikirimnya, tapi tak satu pun berbalas. Alan pun mencoba bertahan dengan bekerja apa saja, mulai dari menjadi buruh serabutan, ojek, hingga kuli angkut. Kehidupan ibu kota di antara tahun 2017-2018 itu adalah ujian panjang baginya.


Namun dari upah seadanya itu, Alan tetap menyisihkan sedikit untuk menabung. Ia kuliah lagi dan mengambil jurusan teknik sambil berharap pendidikan bisa membuka peluang baru. Tapi setelah lulus, kenyataan kembali menamparnya, dunia otomotif sudah penuh dengan mereka yang lebih ahli. Dalam hatinya tumbuh rasa cemas. Ia mulai merasa tak punya tempat di kota yang katanya menjanjikan segalanya itu.


Setiap malam, kerinduan pada kampung halaman menyelinap di sela-sela lelahnya bekerja. Ia jarang pulang dan hanya sekali setahun sekadar mencium tangan orang tua dan menatap ladang kering yang dulu ditinggalkannya.


Hingga suatu ketika, ia mulai bertanya pada diri sendiri, “Kalau saya pulang kampung, saya bisa kerja apa?” Pertanyaan itulah yang menjadi titik balik hidupnya.


Sebelum benar-benar pulang, Alan mencari tahu banyak hal tentang tanah kelahirannya. Ia membaca laporan, menonton video, dan berbincang dengan rekan-rekan yang tinggal di Yogyakarta. Dari situ, ia tahu bahwa Gunungkidul memiliki lahan luas yang kering, tetapi masih menyimpan potensi besar jika diolah dengan tepat.


Tanah gersang Gunungkidul cocok bagi tanaman lidah buaya. (Gambar: teropongmedia.id)

Ia menemukan empat komoditas yang konon cocok dengan karakter tanah kapur: pepaya California, buah naga, anggur, dan lidah buaya. Dari semuanya itu, tanaman yang paling menarik perhatiannya adalah yang terakhir.


Lidah buaya atau aloe vera dikenal tahan panas dan minim air. Selain itu, tanaman ini memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai bahan makanan, kosmetik, hingga obat herbal. Alan merasa telah menemukan secercah jawaban.


Kembali Pulang dengan Bibit dari Pontianak


Suatu hari, ia memutuskan pulang kampung. Tidak dengan tangan kosong, tapi membawa koper berisi bibit lidah buaya dari Pontianak. Ia tak memberi tahu orang tuanya lebih dulu karena mereka pasti bakal mengira ia gagal di Jakarta.


Begitu tiba, Alan langsung menuju rumah orang tuanya di Gunungkidul. Ia membuka koper dan menunjukkan bibit-bibit lidah buaya yang masih terbungkus rapi. Ia mengatakan kepada orang tuanya bahwa insya Allah sepuluh tahun lagi bibit ini akan mengangkat derajat keluarga mereka.


Orang tuanya hanya mengangguk dan mengalirkan doa mereka meski di baliknya tersimpan keraguan. Di mata mereka, tanaman itu asing. Gunungkidul bukanlah tanah subur dan lidah buaya bukan komoditas yang lazim di sana. Tetapi, Alan punya keyakinan sendiri. Ia tidak tahu lidah buaya ini bisa jadi apa, tetapi ia tahu tanaman ini bisa dijual dan bisa diolah. Ia ingin punya usaha yang bermanfaat bagi lingkungan.


Gerakan Alan bersama aloe vera berdampak memberdayakan masyarakat sekitarnya. (Sumber: radioidolasemarang.com)

Awal perjalanan tentu tidak mudah. Bibit-bibit lidah buaya yang ditanam Alan di ladang kering itu sempat layu karena panas ekstrem. Air sulit didapat. Beberapa kali ia hampir menyerah, tapi keyakinannya membuatnya bertahan.


Tahun 2019 menjadi titik penting. Setelah lima tahun menanam, Alan akhirnya memetik hasil panen pertama. Dari sana, ia mulai bereksperimen membuat minuman segar berbahan lidah buaya. Produk pertamanya sederhana, dikemas manual, dan dijual ke tetangga sekitar.


“Saya punya tiga mitra pertama. Mereka bulik-bulik saya,” katanya sambil tertawa. Dari situlah lahir nama Aloe Liquid, produk lokal Gunungkidul yang kini dikenal luas.


Perlahan-lahan kabar tentang usaha Alan menyebar. Petani-petani di sekitar mulai tertarik. Mereka melihat bahwa lidah buaya bisa tumbuh subur di tanah kering dan yang lebih penting bisa dijual dengan harga lebih baik dibanding padi atau jagung.


Alan mulai mengajak mereka bergabung sebagai mitra. Ia membantu menyediakan bibit, pelatihan, serta menampung hasil panen. Ia ingin orang lain juga merasakan manfaatnya.


Bergerak untuk Menumbuhkan Harapan di Tanah Gersang


Kini lebih dari seratus petani dari Gunungkidul, Bantul, Sleman, hingga Klaten tergabung dalam jaringan mitra Aloe Liquid. Setiap hari, Alan menerima 500 hingga 700 kilogram lidah buaya segar. Tanaman yang dulu dianggap tak berguna kini menjelma menjadi sumber kehidupan baru bagi banyak keluarga. Dari hasil panen itu, Alan dan timnya mengembangkan berbagai produk olahan, mulai dari minuman lidah buaya, keripik, hingga manisan Nata de Aloe Vera.


Alan bersama hasil olahan lidah buaya. (Sumber: tempo.com)

Kantor produksinya sederhana dan berdiri di antara rumah-rumah warga. Tapi kesederhanaan itu justru menjadi simbol semangat kewirausahaan desa. Di sana, para pekerja yang kebanyakan ibu rumah tangga sibuk memotong, mengupas, dan mengemas hasil olahan.


Menurut Alan, Aloe Liquid bukan cuma soal bisnis, ini tentang bagaimana mereka bisa saling menguatkan. Ia bercerita bahwa banyak mitranya dulunya adalah petani yang kehilangan semangat karena lahan tandus. Kini, mereka menemukan kembali makna bekerja di tanah sendiri.


Buah Manis Kerja Keras; Penghargaan dan Pengakuan


Kerja keras itu berbuah manis. Tahun 2023, Alan dinobatkan sebagai penerima Apresiasi SATU Indonesia Award bidang kewirausahaan dari PT Astra International Tbk. Penghargaan itu diberikan kepada individu muda yang memberikan dampak sosial nyata di daerahnya. Saat namanya diumumkan, Alan mengaku sempat tak percaya karena ia hanya ingin membuktikan bahwa usaha kecil di desa bisa tumbuh besar jika dikerjakan dengan hati.


Bersama Alan, masyarakat Gunungkidul ikut memperoleh berkah dari lidah buaya. (Sumber: belitongekspres.disway.id)

Sejak itu, kisahnya banyak diliput media sehingga produk Aloe Liquid pun semakin dikenal dan dipercaya masyarakat. Banyak yang mewawancarainya dan hal ini dampaknya besar sekali. Orang jadi tahu kalau lidah buaya bisa jadi sumber ekonomi yang menjanjikan.


Namun penghargaan baginya bukan akhir perjalanan. Ini baru awal dan ia ingin mengembangkan pabrik pengolahan yang lebih besar sehingga dapat membantu lebih banyak petani.


Dari Tanah Gersang ke Tanah Harapan


Gunungkidul kini tidak lagi sekadar simbol kekeringan. Di beberapa sudut desa, hamparan hijau lidah buaya menggantikan pandangan tandus yang dulu begitu akrab. Bagi Alan, setiap daun yang tumbuh adalah pengingat bahwa dari tanah yang keras pun, kehidupan bisa bersemi.


Ketika ia berdiri di tepi ladang dan menatap petani-petani muda yang sibuk memanen, angin kering membawa aroma tanah bercampur getah lidah buaya yang baru dipotong. Di matanya tampak kilau haru. Kadang ia berpikir, kalau dulu ia diterima di pabrik, mungkin ia tidak akan sampai di sini.


Kini lelaki yang dulu dianggap gagal itu telah menciptakan lapangan kerja bagi ratusan orang, menghidupkan lahan-lahan yang dulu tak tersentuh, dan mengubah pandangan masyarakat tentang pertanian di Gunungkidul.


Inspirasi untuk Pulang dan Dampak yang Memberdayakan


Kisah Alan Efendhi adalah kisah tentang pulang. Tentang keberanian menengok kembali tanah kelahiran yang dulu dianggap tak menjanjikan, lalu menumbuhkan harapan dari dalamnya. Bagi banyak anak muda di desa, jalan merantau sering kali dianggap satu-satunya pilihan. Tapi Alan membuktikan bahwa pulang bukan berarti mundur, melainkan menemukan cara baru untuk maju.


Alan menyatakan bahwa jika kita mau melihat potensi sekitar, pasti akan ada peluang. Kita cuma perlu keyakinan dan niat untuk terus mencoba. Kini, setiap kali ada anak muda Gunungkidul yang bertanya bagaimana memulai usaha di desa, Alan hanya tersenyum dan mengatakan mulailah dari apa yang mereka punya dan dari tempat di mana mereka berpijak.


Produk olahan aloe vera dari Alan Efendhi ikut serta dalam event Jakarta Fair. (Sumber: wartahandayani.com)

Ketika langit Gunungkidul perlahan berubah jingga, Alan kadang menyempatkan diri berjalan di antara barisan lidah buaya yang siap panen. Tangannya menelusuri daun-daun yang terasa sejuk di kulit. Alan juga kadang berhenti sejenak dan menatap ke arah bukit. Di sanalah dulu ia bermain dan di tanah yang sama yang kini memberinya denyut kehidupan. Dulu ia tidak diharapkan jadi petani, tapi sekarang ia bersyukur karena justru dari bertani, ia bisa membantu banyak orang.


Dari kegagalan menjadi montir di ibu kota, Alan Efendhi menemukan panggilan sejatinya di ladang. Dari tanah yang dulu kering di Gunngkidul, ia menumbuhkan harapan dan dari rasa rindu, ia menumbuhkan kehidupan baru.


Dari desa yang dulu dianggap tak punya masa depan, ia membuktikan bahwa masa depan bisa tumbuh di mana saja, bahkan di tanah paling gersang sekalipun asalkan ada tangan-tangan yang mau menanam dan hati yang tak pernah berhenti untuk percaya bahwa mereka bisa!

 

Dua tahun terus-menerus menanam lidah buaya atau aloe vera bukanlah hal yang mudah bagi Alan Efendhi dan ibunya yang bernama Sumarni. Pada tahun 2014, mereka menanam lidah buaya di lahan pertanian produktif. Hal tersebut menjadi pemandangan aneh bagi warga sekitarnya di Jeruklegi, Katongan, Nglipar, Gunungkidul, Yogyakarta.


Begitu getolnya menggeluti budidaya lidah buaya, mereka sampai-sampai dicemooh akan makan dan membuat gudeg lidah buaya oleh warga sekitar lantaran terus menanam tanaman khas gurun tersebut.


Alan Efendhi penyulap lahan tandus dengan lidah buaya | Dok. Alan Efendhi

Dua tahun berlalu, ketika jumlah lidah buaya yang ada mencukupi untuk diolah, Alan pun mulai bergerak memproduksi minuman sehat dengan mengandalkan bahan baku lidah buaya.


Akhirnya, dengan mengusung merek Rasane Vera, Alan dan sang ibu membuat minuman berbahan baku lidah buaya. Minuman ini tak hanya disukai karena menyegarkan, tetapi juga kandungan gizinya yang cukup tinggi.


Uniknya, Alan yang meraih SATU Indonesia Awards 2023 di bidang kewirausahaan ini mengaku tidak punya latar belakang ilmu formal di bidang bisnis ataupun pertanian. Ia mempelajari semuanya secara otodidak dari orang-orang yang dianggapnya sudah senior di bidang ini.

 

Alasan Membuat Usaha Berbahan Lidah Buaya


Budidaya lidah buaya di lahan tandus Gunungkidul | Sumber foto: IG @efendhi_alan.rv

Sebetulnya ada kondisi yang kurang menguntungkan sekaligus peluang yang dilihat Alan. Pada awal merintis usaha, ibunya memang hanya menuruti permintaan Alan untuk bersabar menanam lidah buaya di lahan produktif milik mereka.


Namun bagi Alan sendiri, ia punya alasan mengembangbiakkan lidah buaya di kampung halamannya. Ya, sudah banyak orang yang tahu seperti apa kondisi alam yang tandus di Gunungkidul. Hal itulah yang melatarbelakangi Alan, yakni perasaan prihatin melihat lingkungan di daerah tersebut.


“Karena Gunungkidul notabene tempatnya kering, susah air, terus tanah pertaniannya juga tadah hujan. Tanahnya tandus, lahan enggak produktif,” demikian Alan berdalih.


Hal itu mendorong Alan untuk memiliki sebuah usaha atau kegiatan yang bisa membawa dampak positif bagi lingkungan tempat ia tinggal.


Belum lagi kondisi miris ibu-ibu petani di desanya yang selama musim kemarau tak bisa bekerja sebab lahan pertanian mereka jadi tidak produktif.


Ibarat pepatah blessing in disguise, kondisi seperti itu justru membawa berkah. Lahan kering sangat cocok ditanami lidah buaya. Tanaman khas gurun ini memang cukup kuat bertahan hidup di lahan yang minim air.


Tanaman lidah buaya yang ditanam Alan dan ibunya lalu diolah menjadi minuman sehat. Ia membuktikan kepada masyarakat di sekitarnya bahwa ia bisa mengolah lidah buaya, mengembangkan produk, bahkan akhirnya membutuhkan banyak bahan baku.


Alan juga memastikan bahwa ia membeli lidah buaya dengan harga pasti dari para petani. Hal ini membuat para petani tergerak untuk membudidayakan tanaman serupa dan bermitra dengannya.

 

Mampu Menggerakkan Ekonomi Masyarakat

Untuk bisa terus mendapatan pasokan bahan baku, semakin hari Alan akhirnya membentuk petani mitra. Hingga kini sudah ada sekitar 150 lebih petani yang bermitra dengannya. Bahkan tidak hanya di Gunungkidul, tetapi juga di beberapa daerah lain di Yogyakarta, seperti Bantul dan Bayat.


“Sehingga di 2018, mulai banyak petani yang saya jadikan mitra untuk jadi anggota. Nantinya ketika mereka panen bisa saya serap, kepastian dibelinya itu jelas,” tutur Alan mantap. 


Beberapa petani yang bermitra dengan usaha Mountvera Sejati milik Alan ada yang berada dalam KWT atau Kelompok Wanita Tani, dan ada juga yang bermitra secara individu.


Adapun untuk proses produksi, Alan memiliki beberapa pegawai yang semuanya adalah kaum ibu di sekitar tempatnya tinggal. Mereka terbagi menjadi bagian budidaya panen, ada yang menangani setoran masuk ke pabrik, pengolahan lidah buaya, hingga bagian pengemasan dan pemasaran.


Para ibu di lingkungan sekitar usaha yang bekerja mengolah lidah buaya | Sumber foto: IG @efendhi_alan.rv


Selain Mountvera Sejati yang menaungi merek Rasane Vera, Alan juga menggagas wisata edukasi. Ia membuka kelas edukasi bagi siapa saja yang mau belajar budidaya lidah buaya dengannya.


Keberadaan wisata edukasi pada akhirnya mampu membuka peluang meningkatnya pendapatan masyarakat setempat. Mulai dari warung sampai tukang parkir, semuanya terdampak secara positif berkat kehadiran wisata edukasi yang digagas oleh Alan.

 

Berkat Mereka yang Tidak Bisa Konsumsi Gula

Alan dan ibunya merintis pembuatan minuman sehat berbahan baku lidah buaya dengan beberapa varian. Ada produk lidah buaya yang menggunakan stevia, gula batu, hingga madu klanceng. Menurutnya, semua produk tersebut dibuat dengan menyesuaikan target market masing-masing.


                         Lezatnya produk Rasane Vera | Sumber foto: IG @efendhi_alan.rv


Khusus Rasane Vera dengan pemanis stevia adalah produk baru yang dirilis tahun 2019. Target marketnya adalah mereka yang tidak bisa minum manis, apalagi yang berkalori tinggi.


Bahan baku stevia sendiri ia dapat dari mitranya yang menanam di daerah Sleman dan Tawangmangu. Ia membelinya secara online berupa daun kering. Pemanis alami ini terbukti cukup digandrungi.


Alan melihat adanya peluang pasar yang belum dimanfaatkan. Menurutnya, ada konsumen yang ingin juga bisa menikmati produk lidah buaya tetapi khawatir dengan gula yang memiliki kalori tinggi. Di sinilah lidah buaya menjadi solusi karena rendah gula dengan kandungan manfaat kesehatan yang besar.


Pemberdayaan produktif

Hingga kini, siapa pun bisa menjumpai produk Rasane Vera milik Alan di hampir seluruh toko oleh-oleh di Yogyakarta, selain juga bisa dibeli secara online. Spirit dan optimisme seolah terpatri dalam setiap kemasan lidah buaya yang dibeli para turis atau pelancong sebagai buah tangan. 


Ada semangat pemberdayaan dalam usaha Alan | Sumber foto: IG @efendhi_alan.rv


Keberhasilan Alan dalam budidaya lidah buaya padahal semula dicemooh layak dicatat dengan tinta emas. Bahwa dalam kesuksesan terkandung perjuangan dan sikap tahan banting. Dan bahwa kewirausahaan bisa dimulai dari mana pun dengan memanfaatkan potensi lokal, dalam hal ini tanah tandus, dan membangun kolaborasi untuk memajukan daerah setempat.


Tak heran jika PT Astra International Tbk mengganjarnya dengan penghargaan prestisius karena telah mampu menggerakkan ratusan orang mitra petani binaan, yang tersebar di Kabupaten Gunung Kidul, Klaten, Bantul, hingga Sleman. Semangat pemberdayaan terpancar kuat sebagai value utama, terbukti dari dorongannya kepada mitra yang mahir untuk menjalankan usaha minuman sehat secara mandiri, terutama kaum perempuan yang semakin produktif.