Pindah sepertinya adalah bagian penting dalam hidup manusia, bahkan mungkin merupakan esensi jalur kehidupan setiap individu. Gerakan hidup pada hakikatnya hanyalah perpindahan dari satu hal atau kondisi menuju kondisi lain.

Kita semula tinggal di sebuah tempat lalu pindah ke kota lain di rumah tersendiri. Kita semula tinggal di dunia kemudian meninggalkannya untuk menetap di akhirat. Pindah adalah tahapan wajib setiap orang. Masalahnya, sudahkah kita menyiapkan perabotan atau bekal saat pindah?

Dari satu lokasi kita bergerak ke lokasi lainnya. Bahkan dalam satu kota pun kita punya kemungkinan untuk berpindah ke titik yang lain. Misalnya dari rumah yang terasa monoton lalu bergerak ke apartemen yang lebih lega, atau malah sebaliknya.

Intinya, pindah adalah sebuah keniscayaan. Semua akan (p)indah pada waktunya.

PANAS, ITULAH kesan pertama begitu saya menginjakkan kaki di Lamongan, kota yang terkenal dengan soto dan ikan lele. Belakangan kuketahui bahwa Lamongan punya daya tarik kuliner lainnya, yakni nasi boranan. Mungkin sobat pembaca belum pernah mendengar atau mencicipinya lantaran memang tidak tersedia di kota lain selain kota aslinya.


Ah, akhirnya ngeblog lagi setelah begitu lama hiatus, Bumi anak nomor dua kami semakin besar dan tumbuh sebagai anak yang energik, juga kreatif. Di usianya yang belum genap lima tahun, kemampuan motorik maupun kognitifnya semakin mumpuni. Yang lebih menggembirakan lagi, ia mau berbagi dan membela kakaknya yang tulen.



Kami sadar sebagai orang tua harus membantu melejitkan kemampuan mereka sesuai bakat dan potensi pribadi masing-masing--terutama Rumi si sulung. Di rumah tahfiz kemampuan mereka lumayan bagus dan semoga semakin bagus sehingga terpupuk nilai-nilai Qurani sebagai bekal masa depan. 

Dengan mode homeschooling, kami banyak belajar dan berdoa agar kiranya karakter dan kualitas mereka sebagai manusia betul-betul mencerminkan jiwa keimanan, yang akan memberi kemanfaatan bagi orang lain. Semoga. Aaamiin.

Sekian update kali ini. Salam :)
Bagi sebagian orang, angka 9 mungkin tak berarti apa-apa atau bahkan sebaliknya, menjadi angka istimewa. Tapi angka 9 tidak sesederhana itu bagiku. Angka ini mengajarkanku tentang cinta, kekuatan, dan kesetiaan. Meski tak bisa kupahami cara takdir melakukannya.
***
Senin, 17 Mei 2004 pukul 07.58 WIB
Gubrakkkk …. Kaca bening itu pun tersaput jejak hidung dan meninggalkan bekas. “Duh, memar deh tulang hidungku,” gumamku sambil mencoba berdiri tegak meski ada sedikit rasa senut-senut di sebagian hidungku. Menabrak jendela bening di pagi hari mungkin bukan hal yang indah untuk memulai hariku. Gulungan kabel yang terbungkus plastik bening rupanya juga ingin menambah sempurna “kemalanganku”. Lompatan anggun ke arah depan untuk menghindar berhasil kulakukan, tapi tak urung membuat kakiku goyah dan jatuh terduduk. Sempurna!
Namun tak selamanya awal yang buruk harus membuat kita menyerah, bukan? Siapa tahu di penghujung hari bakal ada kejutan indah sebagai penutup hari ini. 


Jreeenggg …. Sebuah undangan mengikuti suatu event membuat saya akhirnya “hinggap” juga di tempat luar biasa ini. Yup, acara bertemu dengan salah seorang penulis yang hebat juga mempertemukan saya di sebuah tempat yang juga hebat ...
Biiip … biiip … biiip. Telepon selular jadul berwarna metalik itu membangunkan Raisa dari mimpi indahnya di subuh yang masih temaram. “Hanya ingin berbagi kabar bahagia. Istriku sudah hamil dan sekarang memasuki masa tiga bulan. Mohon selalu didoakan yang terbaik ya.” Hanya itu yang tertera di layar telepon. Tapi … sontak berita sepagi itu mampu membuat Raisa melompat bahagia dan membuat rusuh seisi rumah.
“Mas, bangun! Ini lihat deh, Bimo dan Mona akhirnya ….,” teriak Raisa di telinga Rio, sang suami yang masih lerlihat berada dalam gulungan selimutnya. Raisa mengguncang-guncang badan suaminya dengan sangat bersemangat dan tak urung membuat suaminya ikutan terlonjak kaget dan terjerembab ke lantai.
Hadeeuuh, ada apa sih pagi-pagi bikin heboh begini?” gerutu Rio sambil duduk kembali di pinggir tempat tidur.
“Ini lho, Bimo dan Mona akhirnya …,” ujar Raisa sambil matanya yang berkaca-kaca tidak terlepas dari layar teleponnya. “Mereka akan punya anak!”
***
For My Beloved Mom ….

Mama, apakah kau tahu, goresan pena ini tergerak bersama linangan air mataku?
Namun, tak ada sepatah kata pun yang benar-benar sanggup menguraikan kata hatiku.

Apa kabar, Mama?
Ketika mulai menulis ini, kadang aku hampir menangis. Ini bukan edisi lebay, tapi edisi galau, meski nggak sampai nangis bombay sih. Perempuan memang ingin dimengerti. Kayaknya lagu lawas milik Ada Band itu cocok buat menggambarkan perasaanku saat ini. Bayangkan saja dulu deh! Ada seorang emak-emak mantan editor & jurnalis yang suka traveling plus modis ...