Tampilkan postingan dengan label lingkungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lingkungan. Tampilkan semua postingan

Di perbukitan batu kapur Gunungkidul, pagi baru saja dimulai. Kabut tipis masih bergelayut di ladang-ladang di Dusun Wonosari yang menampakkan barisan tanaman lidah buaya berwarna hijau segar. Di antara tanaman berdaun tebal itu, seorang lelaki bernama Alan Efendhi tampak berjalan pelan sambil memandang hamparan tanaman yang basah oleh embun. Wajahnya teduh, tapi tangan kasarnya menyimpan kisah panjang tentang perjuangan, kegagalan, dan keyakinan yang tak pernah padam.


Alan Efendhi mengubah tanah gersang Gunungkidul menjadi berkah bersama Aloe Vera. (Sumber: belitongekspres.disway.id)


Sambil memegang satu tangkai daun besar yang siap panen, ia mengatakan bahwa dulu ia sama sekali tidak tahu lidah buaya ini bisa menjadi apa. Tetapi ia tahu satu hal, tanaman ini bisa jadi sesuatu yang berguna dan bisa mengangkat kampungnya.


Kini usaha minuman berbahan dasar lidah buaya yang ia rintis, Aloe Liquid, telah menggandeng lebih dari seratus petani di Gunungkidul, Bantul, Sleman hingga Klaten. Setiap hari, sedikitnya 500 kilogram lidah buaya segar dikumpulkan dari para mitra untuk diolah menjadi minuman, keripik, dan manisan.


Namun, jalan menuju keberhasilan itu pada awalnya sama sekali tidak lurus.


Pemuda yang Tak Diharapkan Jadi Petani


Alan lahir dan besar di keluarga petani di Gunungkidul. Wilayah ini kerap disebut sebagai “negeri kapur” karena tanahnya yang kering dan miskin air. Ayah, ibu, kakek, dan neneknya semua menggantungkan hidup dari bertani. Tetapi, Alan sedari kecil sudah sering mendengar pesan yang sama berulang-ulang dari orang tuanya: “Jangan jadi petani!”


Bagi keluarganya, pertanian bukan jalan keluar dari kemiskinan. Alan mengungkapkan bahwa ia adalah anak yang tidak diharapkan menjadi petani. Musim kemarau panjang di Gunungkidul membuat sawah sering merekah seperti kulit retak, tanaman gagal panen, hasil tak menentu, dan sebagian besar pemuda akhirnya memilih menjadi buruh bangunan atau merantau.


Alan pulang dari rantau untuk menjadi petani sukses. (Sumber: kompas.id)

Orang tua Alan juga ingin anaknya punya masa depan lain. Setelah lulus dari SMK jurusan otomotif, Alan pun berangkat ke Jakarta dengan selembar ijazah di tangan dan harapan sederhana di dada, yaitu menjadi karyawan pabrik.


Namun, nasib berkata lain. Tidak ada satu pabrik pun yang mau menerimanya. Puluhan lamaran dikirimnya, tapi tak satu pun berbalas. Alan pun mencoba bertahan dengan bekerja apa saja, mulai dari menjadi buruh serabutan, ojek, hingga kuli angkut. Kehidupan ibu kota di antara tahun 2017-2018 itu adalah ujian panjang baginya.


Namun dari upah seadanya itu, Alan tetap menyisihkan sedikit untuk menabung. Ia kuliah lagi dan mengambil jurusan teknik sambil berharap pendidikan bisa membuka peluang baru. Tapi setelah lulus, kenyataan kembali menamparnya, dunia otomotif sudah penuh dengan mereka yang lebih ahli. Dalam hatinya tumbuh rasa cemas. Ia mulai merasa tak punya tempat di kota yang katanya menjanjikan segalanya itu.


Setiap malam, kerinduan pada kampung halaman menyelinap di sela-sela lelahnya bekerja. Ia jarang pulang dan hanya sekali setahun sekadar mencium tangan orang tua dan menatap ladang kering yang dulu ditinggalkannya.


Hingga suatu ketika, ia mulai bertanya pada diri sendiri, “Kalau saya pulang kampung, saya bisa kerja apa?” Pertanyaan itulah yang menjadi titik balik hidupnya.


Sebelum benar-benar pulang, Alan mencari tahu banyak hal tentang tanah kelahirannya. Ia membaca laporan, menonton video, dan berbincang dengan rekan-rekan yang tinggal di Yogyakarta. Dari situ, ia tahu bahwa Gunungkidul memiliki lahan luas yang kering, tetapi masih menyimpan potensi besar jika diolah dengan tepat.


Tanah gersang Gunungkidul cocok bagi tanaman lidah buaya. (Gambar: teropongmedia.id)

Ia menemukan empat komoditas yang konon cocok dengan karakter tanah kapur: pepaya California, buah naga, anggur, dan lidah buaya. Dari semuanya itu, tanaman yang paling menarik perhatiannya adalah yang terakhir.


Lidah buaya atau aloe vera dikenal tahan panas dan minim air. Selain itu, tanaman ini memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai bahan makanan, kosmetik, hingga obat herbal. Alan merasa telah menemukan secercah jawaban.


Kembali Pulang dengan Bibit dari Pontianak


Suatu hari, ia memutuskan pulang kampung. Tidak dengan tangan kosong, tapi membawa koper berisi bibit lidah buaya dari Pontianak. Ia tak memberi tahu orang tuanya lebih dulu karena mereka pasti bakal mengira ia gagal di Jakarta.


Begitu tiba, Alan langsung menuju rumah orang tuanya di Gunungkidul. Ia membuka koper dan menunjukkan bibit-bibit lidah buaya yang masih terbungkus rapi. Ia mengatakan kepada orang tuanya bahwa insya Allah sepuluh tahun lagi bibit ini akan mengangkat derajat keluarga mereka.


Orang tuanya hanya mengangguk dan mengalirkan doa mereka meski di baliknya tersimpan keraguan. Di mata mereka, tanaman itu asing. Gunungkidul bukanlah tanah subur dan lidah buaya bukan komoditas yang lazim di sana. Tetapi, Alan punya keyakinan sendiri. Ia tidak tahu lidah buaya ini bisa jadi apa, tetapi ia tahu tanaman ini bisa dijual dan bisa diolah. Ia ingin punya usaha yang bermanfaat bagi lingkungan.


Gerakan Alan bersama aloe vera berdampak memberdayakan masyarakat sekitarnya. (Sumber: radioidolasemarang.com)

Awal perjalanan tentu tidak mudah. Bibit-bibit lidah buaya yang ditanam Alan di ladang kering itu sempat layu karena panas ekstrem. Air sulit didapat. Beberapa kali ia hampir menyerah, tapi keyakinannya membuatnya bertahan.


Tahun 2019 menjadi titik penting. Setelah lima tahun menanam, Alan akhirnya memetik hasil panen pertama. Dari sana, ia mulai bereksperimen membuat minuman segar berbahan lidah buaya. Produk pertamanya sederhana, dikemas manual, dan dijual ke tetangga sekitar.


“Saya punya tiga mitra pertama. Mereka bulik-bulik saya,” katanya sambil tertawa. Dari situlah lahir nama Aloe Liquid, produk lokal Gunungkidul yang kini dikenal luas.


Perlahan-lahan kabar tentang usaha Alan menyebar. Petani-petani di sekitar mulai tertarik. Mereka melihat bahwa lidah buaya bisa tumbuh subur di tanah kering dan yang lebih penting bisa dijual dengan harga lebih baik dibanding padi atau jagung.


Alan mulai mengajak mereka bergabung sebagai mitra. Ia membantu menyediakan bibit, pelatihan, serta menampung hasil panen. Ia ingin orang lain juga merasakan manfaatnya.


Bergerak untuk Menumbuhkan Harapan di Tanah Gersang


Kini lebih dari seratus petani dari Gunungkidul, Bantul, Sleman, hingga Klaten tergabung dalam jaringan mitra Aloe Liquid. Setiap hari, Alan menerima 500 hingga 700 kilogram lidah buaya segar. Tanaman yang dulu dianggap tak berguna kini menjelma menjadi sumber kehidupan baru bagi banyak keluarga. Dari hasil panen itu, Alan dan timnya mengembangkan berbagai produk olahan, mulai dari minuman lidah buaya, keripik, hingga manisan Nata de Aloe Vera.


Alan bersama hasil olahan lidah buaya. (Sumber: tempo.com)

Kantor produksinya sederhana dan berdiri di antara rumah-rumah warga. Tapi kesederhanaan itu justru menjadi simbol semangat kewirausahaan desa. Di sana, para pekerja yang kebanyakan ibu rumah tangga sibuk memotong, mengupas, dan mengemas hasil olahan.


Menurut Alan, Aloe Liquid bukan cuma soal bisnis, ini tentang bagaimana mereka bisa saling menguatkan. Ia bercerita bahwa banyak mitranya dulunya adalah petani yang kehilangan semangat karena lahan tandus. Kini, mereka menemukan kembali makna bekerja di tanah sendiri.


Buah Manis Kerja Keras; Penghargaan dan Pengakuan


Kerja keras itu berbuah manis. Tahun 2023, Alan dinobatkan sebagai penerima Apresiasi SATU Indonesia Award bidang kewirausahaan dari PT Astra International Tbk. Penghargaan itu diberikan kepada individu muda yang memberikan dampak sosial nyata di daerahnya. Saat namanya diumumkan, Alan mengaku sempat tak percaya karena ia hanya ingin membuktikan bahwa usaha kecil di desa bisa tumbuh besar jika dikerjakan dengan hati.


Bersama Alan, masyarakat Gunungkidul ikut memperoleh berkah dari lidah buaya. (Sumber: belitongekspres.disway.id)

Sejak itu, kisahnya banyak diliput media sehingga produk Aloe Liquid pun semakin dikenal dan dipercaya masyarakat. Banyak yang mewawancarainya dan hal ini dampaknya besar sekali. Orang jadi tahu kalau lidah buaya bisa jadi sumber ekonomi yang menjanjikan.


Namun penghargaan baginya bukan akhir perjalanan. Ini baru awal dan ia ingin mengembangkan pabrik pengolahan yang lebih besar sehingga dapat membantu lebih banyak petani.


Dari Tanah Gersang ke Tanah Harapan


Gunungkidul kini tidak lagi sekadar simbol kekeringan. Di beberapa sudut desa, hamparan hijau lidah buaya menggantikan pandangan tandus yang dulu begitu akrab. Bagi Alan, setiap daun yang tumbuh adalah pengingat bahwa dari tanah yang keras pun, kehidupan bisa bersemi.


Ketika ia berdiri di tepi ladang dan menatap petani-petani muda yang sibuk memanen, angin kering membawa aroma tanah bercampur getah lidah buaya yang baru dipotong. Di matanya tampak kilau haru. Kadang ia berpikir, kalau dulu ia diterima di pabrik, mungkin ia tidak akan sampai di sini.


Kini lelaki yang dulu dianggap gagal itu telah menciptakan lapangan kerja bagi ratusan orang, menghidupkan lahan-lahan yang dulu tak tersentuh, dan mengubah pandangan masyarakat tentang pertanian di Gunungkidul.


Inspirasi untuk Pulang dan Dampak yang Memberdayakan


Kisah Alan Efendhi adalah kisah tentang pulang. Tentang keberanian menengok kembali tanah kelahiran yang dulu dianggap tak menjanjikan, lalu menumbuhkan harapan dari dalamnya. Bagi banyak anak muda di desa, jalan merantau sering kali dianggap satu-satunya pilihan. Tapi Alan membuktikan bahwa pulang bukan berarti mundur, melainkan menemukan cara baru untuk maju.


Alan menyatakan bahwa jika kita mau melihat potensi sekitar, pasti akan ada peluang. Kita cuma perlu keyakinan dan niat untuk terus mencoba. Kini, setiap kali ada anak muda Gunungkidul yang bertanya bagaimana memulai usaha di desa, Alan hanya tersenyum dan mengatakan mulailah dari apa yang mereka punya dan dari tempat di mana mereka berpijak.


Produk olahan aloe vera dari Alan Efendhi ikut serta dalam event Jakarta Fair. (Sumber: wartahandayani.com)

Ketika langit Gunungkidul perlahan berubah jingga, Alan kadang menyempatkan diri berjalan di antara barisan lidah buaya yang siap panen. Tangannya menelusuri daun-daun yang terasa sejuk di kulit. Alan juga kadang berhenti sejenak dan menatap ke arah bukit. Di sanalah dulu ia bermain dan di tanah yang sama yang kini memberinya denyut kehidupan. Dulu ia tidak diharapkan jadi petani, tapi sekarang ia bersyukur karena justru dari bertani, ia bisa membantu banyak orang.


Dari kegagalan menjadi montir di ibu kota, Alan Efendhi menemukan panggilan sejatinya di ladang. Dari tanah yang dulu kering di Gunngkidul, ia menumbuhkan harapan dan dari rasa rindu, ia menumbuhkan kehidupan baru.


Dari desa yang dulu dianggap tak punya masa depan, ia membuktikan bahwa masa depan bisa tumbuh di mana saja, bahkan di tanah paling gersang sekalipun asalkan ada tangan-tangan yang mau menanam dan hati yang tak pernah berhenti untuk percaya bahwa mereka bisa!

 

Pernahkah terpikir mengatasi masalah sampah dengan sampah? Ide cemerlang itulah yang melekat pada Plepah. Produk kemasan ramah lingkungan yang digagas oleh Rengkuh Banyu Mahandaru ini memanfaatkan pelepah pohon pinang yang dianggap menjadi sampah pertanian.

Produk Plepah yang bisa digunakan sebagai wadah makanan. (Sumber foto: Instagram @plepah_id)


Dengan teknologi yang ia rancang sendiri, pelepah-pelepah pinang yang sebelumnya terbuang begitu saja dan dianggap sebagai sampah oleh para petani, nyatanya bisa diolah menjadi wadah makanan yang ramah lingkungan.


Uniknya, ide membuat wadah makanan yang mudah terurai di alam ini muncul saat Rengkuh sedang menyelam di sebuah area menyelam di Indonesia. Bukannya aneka macam ikan yang didapati, ia malah menemukan banyak sampah styrofoam box dan sampah plastik lainnya di area menyelam tersebut.


Pelajaran dan Kesadaran tentang Sampah dari India

Suatu ketika di tahun 2018, Rengkuh pernah mengunjungi negara India, tepatnya ke daerah Jaypur. Di sana, ia terinspirasi dengan mangkuk dari dedaunan tanaman endemik. Wujudnya seperti daun jati yang dikeringkan.


Perjalanan Rengkuh ke Jaypur India pada tahun 2018 silam. (Sumber foto: Instagram @rengkuhbanyu)


Rengkuh pun tertarik dengan keberadaan tumpukan sampah di India yang organik semua serta bisa dikompos. Di sepanjang jalan yang ia temui, banyak tempat-tempat dekomposter sampah organik di pinggir jalan.


Fenomena ini membuatnya teringat dengan kebiasaan masyarakat tradisional Indonesia yang juga sering memanfaatkan daun jati atau daun pisang untuk membungkus makanan.


Dari sinilah Rengkuh lantas mulai berpikir tentang kondisi pengolahan sampah di Indonesia. Memang, Indonesia belum bisa menjadi seperti negara-negara di Eropa yang bisa mengatasi masalah sampah dengan lebih sistemik. Misalnya mulai dari pengolahan limbah, pengangkutan sampah, kebiasaan masyarakat sadar tentang sampah, atau yang lainnya.


Dengan India, Indonesia memiliki kemiripan dalam hal kebiasaan masyarakatnya dalam membuat sampah. Hanya saja bedanya, masyarakat India masih cukup banyak yang menggunakan daun sebagai wadah pembungkus makanan serta mudahnya menemukan keberadaan tempat sampah dekomposter. Sementara di Indonesia, sudah banyak masyarakat yang memilih menggunakan plastik atau styrofoam sebagai wadah pembungkus makanan karena dianggap lebih praktis.


Daun sebagai pembungkus makanan, seperti daun jati atau daun pisang dianggap memiliki banyak kekurangan. Misalnya, sering mudah robek dan kurang fungsional.


Makanannya Satu, Bungkusnya Lima

Di tahun 2018 sebelum memiliki usaha Plepah, Rengkuh bekerja di sebuah kantor yang ada di Jakarta. Saat jam istirahat, ia kerap memesan makanan lewat aplikasi online yang menawarkan pengantaran makanan.


Satu makanan saja yang ia pesan, kemasannya bisa sampai lima wadah. Contohnya, jika ia pesan satu porsi ayam geprek, ia akan mendapati hasil pesanannya berupa satu wadah nasi sendiri, ayam yang dipisah, sambal yang juga dibungkus terpisah, dan yang lainnya.


Banyak makanan khas Indonesia yang terdiri dari beberapa item dalam satu porsi makanan. (Sumber foto: Instagram @plepah_id)


Sebelumnya, hal tersebut tidak menjadi masalah buat Rengkuh. Sampai di kemudian hari, ia terhenyak begitu melihat tumpukan sampah styrofoam box dan sampah plastik lainnya di sebuah area diving di Indonesia yang sedang ia selami.


“Kayaknya bisa dikulik sesuatu untuk menjadi alternatif dari masalah ini,” begitu batin Rengkuh.


Karena latar belakang keilmuan yang Rengkuh miliki adalah desain produk, jadilah pendekatan itu juga yang digunakannya untuk mendesain dan menciptakan produk yang cukup fungsional, tapi nyaman untuk dlihat dan dipegang.


Tahun 2018 bisa dibilang menjadi tahun penuh makna bagi Rengkuh. Perjalanannya saat menyelam yang membuatnya sadar tentang kondisi sampah di Indonesia yang memprihatinkan serta perjalanannya ke India yang membuat ia bisa melihat fenomena pemanfaatan dan pengolahan sampah, semua itu membuatnya memulai usaha Plepah juga di tahun tersebut.


Keistimewaan Pelepah Pinang sebagai Wadah Makanan

Dari sekian bahan alam yang begitu kaya di Indonesia, pilihan Rengkuh jatuh pada pelepah pinang untuk diolah menjadi produk yang diharapkan mampu memberi solusi terhadap masalah sampah.


Di daerah Sumatra sendiri, pohon pinang menjadi komoditas pertanian dengan bagian buah yang diambil untuk dijual. Rata-rata para petani di sana memiliki lahan pohon pinang yang bisa hampir dua hektar luasnya.


Sedangkan pelepah dari pohon ini sendiri sebenarnya limbah pertanian atau sampah dari hasil panen. Dalam sebulan, pelepah pinang bisa jatuh dengan sendirinya sebanyak dua hingga tiga kali.


Menurut Rengkuh, pelepah pinang bisa didesain secara aestetik karena memiliki ketebalan dan karakter material yang cukup kuat. “Bisa diolah secara desain dan bentuknya. Tidak perlu teknologi yang susah,” ujar Rengkuh.


Dalam prosesnya, pelepah pinang yang ada tinggal dicuci atau disterilkan, di-steam biar lebih lentur, dicetak dengan mesin press yang didesainnya sendiri, dan disterilkan lagi.


Banyu membuat mesinnya sendiri. Ia menggunakan teknologi tertentu yang kemudian disesuaikan dengan karakter materialnya. Jadi seperti mengolah bahan dari plastik, tapi materialnya diganti menjadi pelepah pinang.


Salah satu proses dalam pengolahan limbah pelepah pinang (Sumber foto: Instagram @rengkuhbanyu)


Kelebihan lainnya, pelepah pinang ini tahan untuk dimasukkan ke microwave. Bahkan, ini bisa juga dipakai berulang hingga sekitar dua atau tiga kali. Namun Banyu sendiri lebih menyarankan untuk menggunakan Plepah dalam sekali pakai.


Usai digunakan, Plepah bisa langsung di-compose. Jika dibuang di tanah, Plepah bisa terurai selama maksimal kurang lebih 60 hari.


Bermimpi Menyelesaikan Masalah dengan Limbah Pertanian

Hingga kini, usaha Plepah yang digagas Rengkuh makin hari makin berkembang. Ada tiga pabrik dari Plepah. Awalnya, ia mendirikan pabrik di Sumatra Selatan dan Jambi. Ia sengaja membangun pabrik-pabrik di desa karena dekat dengan bahan baku sehingga meminimalisasi jejak karbon.


Pak Asnawi, salah satu petani pohon pinang dari daerah Teluk Kulbi, Jambi. (Sumber foto: Instagram @plepah_id)


Namun karena kebutuhan pemasaran di Jakarta, akhirnya pabrik Plepah juga didirikan di Cibinong, Bogor. Saat ini produksi Plepah sudah mencapai angka 120 hingga 150 pieces per bulan.


Untuk di Indonesia sendiri, Plepah lebih banyak digunakan dan dipasarkan di daerah Jakarta dan Bali, sedangkan untuk ekspor ke luar negeri, jangkauan Plepah sudah ada hingga Jerman dan Australia.


Harga per-pieces dari Plepah sendiri hingga kini sekitar 2.500 hingga 3 ribu rupiah, tergantung ukuran. Rengkuh mengaku, tantangan yang dihadapinya saat ini adalah menurunkan harga secepat-cepatnya. Apalagi harga styrofoam sendiri sangat jauh murah sehingga lebih dipilih kebanyakan masyarakat.


Kini, ia dan kawan-kawannya terus bermimpi bisa memanfaatkan material-material, misalnya dari limbah pertanian sehingga bisa memiliki nilai ekonomi.


“Di sisi lain sebetulnya banyak permasalah-permasalahan yang bisa diselesaikan dengan limbah pertanian ini. Apalagi Indonesia terkenal sebagai negara agraris. Kita hari ini sedang mengembangkan alternatif untuk mengurangi penggunaan batubara atau pembangkit listrik yang menggunakan batubara dengan bio massa,” Rengkuh menerangkan mimpi dan harapannya saat ini.


Ia berharap kelak penggunaan limbah pertanian yang ke depannya bisa memberikan dampak ekonomi serta dampak positif pada masyarakat dan juga terhadap lingkungan.


Atas inovasinya yang mampu mengolah limbah menjadi produk yang ramah lingkungan dan bisa menjadi salah satu solusi masalah sampah, maka pada tahun 2023, Rengkuh dan Plepah berhasil meraih penghargaan SATU Indonesia Awards untuk kategori kelompok pejuang lingkungan.


Ia mengaku, ada beberapa keuntungan yang ia rasakan saat meraih penghargaan tersebut. Misalnya, ia bisa mendapatkan modal untuk riset yang kemudian ia pakai untuk mewujudkan mimpi-mimpinya mengolah sampah pertanian menjadi produk dengan nilai ekonomi.


Selain itu, ajang SATU Indonesia Awards juga bisa membuatnya bertemu juri yang memberikan pandangan atau masukan untuk pengembangan produk. Ia juga jadi bisa menambah jaringan yang berkontribusi bagi tumbuh kembang produk Plepah ini.

 

Perjalanan kereta ekonomi jurusan Bojonegoro-Lamongan pagi itu menyisakan rasa gersang bagi kedua putra kami, Bumi dan Rumi. Sepanjang jalan mereka selalu sambat (mengeluh) panas dan hanya ada rasa bosan yang menghinggapinya. Bukan karena kereta tak berpendingin udara, tetapi pemandangan kerontang yang mengubah hawa menjadi gerah. 


Perjalanan mudik di tahun 2014 tersebut menjadi awal mereka mengenal tanah Bojonegoro, sebuah tanah yang menyimpan kekayaan tambang di salah satu bagian utara Pulau Jawa. 

"Bunda, kok di sini tanahnya kering dan hawanya panas banget ya Pemandangannya cuma pohon-pohon dan rumput yang kering seperti terbakar," Bumi akhirnya bertanya setelah mendapat penghiburan berupa camilan kesukaannya. Saat itu, kami hanya bisa menjawab bahwa Bojonegoro memang menjadi kering karena ada aktivitas pertambangan yang membuat efek rumah kaca. 

Syukurlah, ternyata melalui obrolan ini Bumi dan Rumi memiliki banyak pengalaman dan pemahaman yang baru mengenai Bumi dan pelestarian lingkungan. Saya berusaha menjawab keresahan dan rasa penasaran mereka karena generasi merekalah yang menjadi salah satu harapan generasi masa depan para penyayang Bumi. 

Bumi Makin Tua, Kita Harus Peka


"Ibu Bumi wis maringi, ojo dilarani. Bumi sudah memberikan banyak hal buat kehidupan kita. Jangan kita sakiti dengan ulah-ulah yang merugikan bumi kita." Pernyataan KRT Samsul Arifin Wijoyosukmo dari Green Star Nusantara (GSN) yang menjadi penerima Satu Indonesia Award 2021 ini sangat menggugah. Sebagai warga Lamongan, daerah yang wilayahnya bertetangga dengan Bojonegoro, saya merasakan keprihatinan yang serupa. Kegiatan Mas Samsul melalui lembaga GSN menjadi salah satu harapan baru untuk menyelesaikan perbaikan kualitas oksigen dan menghidupkan kembali sumber mata air yang sudah banyak mati.


Mas Samsul menceritakan bahwa ia memulai proses kegiatan diawali dari suatu keresahan sejak tahun 2010-an. Bojonegoro, terutama di daerahnya, yaitu Wonocolo, eksploitasi minyak dan gas secara masif dan modern sudah dilakukan di tahun 2000-an. Adapun eksploitasi gas bumi di Bojonegoro itu sendiri sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. 

Di mana pun, suatu aktivitas pertambangan pasti memiliki berbagai dampak bagi kehidupan, baik bagi masyarakat maupun lingkungannya. Salah satunya adalah menjadi pemicu pemanasan global. 


Mas Samsul menjelaskan bahwa hal yang paling terasa dan terlihat dampaknya di Bojonegoro adalah pengaruhnya terhadap kualitas oksigen dan banyaknya sumber mata air yang menjadi kering lantaran pohon penyangga air sudah banyak yang lapuk dan tumbang serta habisnya pohon karena dibabat atau disebabkan aktivitas penebangan oleh manusia. Hal yang terasa miris adalah tidak ada upaya perbaikan melihat fenomena tersebut.

"Jika hanya resah, tapi tidak mau berbuat,, ya alam akan semakin rusak dan panas semakin tidak terkendali," tegas Mas Samsul melihat kenyataan di sekitarnya. Kepekaan untuk merasa bahwa Bumi yang semakin panas bisa membuat alam semakin rusak dan tanaman tidak bisa tumbuh membuatnya harus mulai bergerak. Ia mulai memahami bahwa tanaman yang bisa ditanam untuk memperbaiki kualitas oksigen dengan menyerap gas CO2 terbagus dan daya simpan air yang bagus adalah pohon trembesi. 

Pohon trembesi dikenal sebagai pohon hujan atau pohon saman. Trembesi juga memiliki julukan unik di Jawa Barat, yaitu Ki Hujan karena sering meneteskan air dari tujuk-tajuk pohonnya.

Pohon trembesi yang bernama latin Samanea saman dapat tumbuh dengan tinggi, besar, kuat dan kokoh dengan maksimal bentangan trembesi dewasa mencapai 30 meter dan memiliki ketinggian hingga mencapai 20 meter dengan usia mencapai puluhan,  bahkan ratusan tahun. 


Trembesi tumbuh subur di daerah yang memiliki rata-rata curah hujan 600 hingga 3000 mm per tahun dengan ketinggian 0 hingga 300 meter di atas permukaan laut. 

Keistimewaaan lain dari pohon trembesi adalah kemampuannya dalam menghadapi cuaca ekstrem, yakni 2 hingga 4 bulan pada bulan kering dengan suhu suhu 20-38 derajat Celcius. Jangkauan daunnya lebat dan dapat menurunkan 3–4 derajat Celcius suhu udara di lingkungan sekitarnya.

Menurut penelitian, pohon trembesi pun mampu menyerap karbondioksida sebesar 28,5 juta ton per pohon setiap tahunnya.

Manfaat-manfaat inilah yang membuat trembesi dipilih untuk program penghijauan kembali oleh Mas Samsul dan teman-temannya yang bersinergi melalui Green Star Nusantara ini. 

Jika Sudah Cinta, Tak ada Alasan Diam Saja


Semuanya didasari oleh kecintaan terhadap lingkungan dan tanaman. Apabila ada tanaman yang tumbuh dan kering selalu ada rasa ingin (merawat dengan) menyiram supaya tumbuh. Hal ini diungkapkan oleh Erlin, salah satu relawan di Green Star Nusantara. Ia merasa sangat senang dapat bersinergi dalam upaya pelestarian lingkungan ini. 

Hal tersulit ketika memulai gerakan ini pertama kali adalah pada masalah bibit. Mas Samsul bercerita bahwa pertama kali ia membeli bibit trembesi lewat online  dari Jawa barat yang harganya cukup mahal, yaitu per kilo 200 ribuan termasuk ongkir. 

Pada akhirnya, Green Star Nusantara ingin membuat bibit sendiri dan sebisa mungkin melakukan kegiatan secara mandiri. Ruh membesarkan lembaga ini meniru spirit Suku Samin yang terkenal mandiri dan tidak bergantung.

Pendanaan Green Star Nusantara berasal dari iuran sukarela anggota dan produksi jamu serbuk dibuat dari rimpang-rimpangan SPT jahe merah, temulawak, kunyit, temu mangga dll. Hasil penjualannya digunakan untuk pendanaan kegiatan pengembangan. Melalui hal tersebut, kegiatan pelestarian lingkungan juga dibarengi dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. 


Green Star Nusantara akan membantu warga atau siapa pun yang ingin merawat pohon dengan memberikan bibit secara gratis, tetapi yang terpenting harus memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan upaya tersebut. 

Trembesi dan Harapan Baru Kokohnya Sinergi


Bagi Mas Samsul, Green Star Nusantara adalah sebuah sistem untuk upaya menghijaukan dunia kembali, mengatasi pemanasan global, oksigen yang memburuk, dan menyiapkan cadangan air bersih. Dengan makin banyaknya rumah atau apartemen yang dibangun, ruang terbuka pun kian berkurang yang berdampak pada menipisnya stok air di dalamnya karena tak mampu ditembus hujan.

Peran yang dilakukan Mas Samsul dan Green Star Nusantara sungguh amat menginspirasi. Kita semua pasti setuju dengan pernyataan yang disebutkan dalam  kata pengantar buku Bumiku Sehat Aku Gembira bahwa Bumi kita semakin tua, semakin memerlukan perawatan yang intensif agar tetap "ceria" dan sehat di masa tuanya. Obatilah Bumi, rawatlah ia dengan penuh kasih sayang.