Judul: Astaga, Mulutku Terbang (Lagi)!
Penulis: Cho Seung Hye
Penerbit: Kesaint Blanc
Tahun: 2019
ISBN: 978-602-477-056-3
Halaman: 44 halaman
Ukuran: 18,5 x 24
Berat: 165 gr
Harga: Rp65.000 (P. Jawa)




MULUT ADALAH tempat untuk makan dan minum karena ada lidah dan gigi untuk merasa dan mengunyah. Mulut juga digunakan untuk berbicara karena suara bisa dikeluarkan dari dalamnya. Apa jadinya jika mulut tiba-tiba lepas, terbang, dan pergi entah ke mana? 

Itulah yang terjadi sesaat sebelum liburan sekolah Dudo dimulai. Mulutnya tiba-tiba terbang dan tak lagi menempel di wajahnya? Owwhhh, tentu saja Dudo akan sulit untuk bersenang-senang. Tak bisa makan, tak bisa bicara, wajahnya tak bisa dikenali, dan tentu saja buyarlah rencana liburannya. Wah, benar-benar repot!

Karakter bebek lucu yang tak selalu bersikap manis

Ketika Pak Kurir yang mengantarkan paket tiba siang itu, dua krucil saya langsung heboh. “Bunda, bukunya sudah sampai. Aku boleh buka paketnya duluan ya?” Mereka tak sabar segera menghampiri Pak Kurir dan menunggunya menyerahkan paket tersebut. Tak berapa lama, buku itu sudah asyik mereka baca hingga tuntas. Sebagaimana biasa, setelah membaca sebuah buku, mereka pasti komentar ini dan itu. Banyak yang bakal mereka bahas, bahkan tambah seru jika ditambah camilan di sela-sela diskusi itu.

Buku ini mengisahkan tentang petualangan Dudo yang menjadi karakter utama dalam cerita ini. Petualangan yang dialaminya merupakan lanjutan dari buku sebelumnya meski keduanya bisa dibaca secara terpisah karena ceritanya berbeda. Ia terpaksa harus “memburu” mulutnya (lagi) kali ini dan membuat Dudo berkeliling dunia, ke gunung, ke laut, ke langit, bahkan ke kutub. Semua terasa seru dan menantang dan Dudo pantang menyerah! 

Bikin penasaran hingga akhir

Buku Astaga, Mulutku Terbang (Lagi)! merupakan buku cerita memiliki gambar yang cukup atraktif untuk anak-anak usia sekolah TK atau SD. Petualangan Dido semakin terasa seru dan menarik untuk diikuti karena didukung pula dengan kertas artpaper dan gambar-gambar full-color. Sebagai orangtua dari dua krucil cowok berusia SD, saya pun dibuat takjub dengan gambar-gambar yang sederhana, tetapi mampu menyedot perhatian hingga tak mau lepas sebelum cerita berakhir. Bahkan, ketika sampai pada halaman terakhir, cerita tentang Dido pun serasa masih menyisakan rasa penasaran yang tak mau hilang.

Buku yang berjudul asli Wonder Mouth 2 dan ditulis oleh Cho Seung Hye ini tidak memberikan kesimpulan akhir atau rangkuman nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Pembaca, khususnya anak-anak dibebaskan untuk memahami cerita tanpa disuapi dengan pemahaman atau kesimpulan dari buku. Mereka dberikan ruang yang seluas-luasnya untuk memahami dengan kemampuan diri mereka sendiri dan berimajinasi di mana orangtua menjadi pendamping.

Hal yang cukup menarik adalah justru di halaman awal terdapat beberapa panduan yang diberikan kepada para orangtua atau pendamping yang akan menemani si kecil membaca buku ini. Panduan ini menarik, khususnya bagi orangtua baru karena jika bisa menerapkannya, maka kebiasaan membaca buku pada anak akan tumbuh sejak dini.

Buku yang cantik dan mendidik tanpa bikin panik

Sering kali orangtua memberikan pendidikan dan pengasuhan kepada putra atau putrinya dengan hal-hal yang berisi banyak tuntutan. Sering kali hal yang diinginkan oleh orangtua itu sendiri pun justru malah kurang berjalan sebagaimana yang diharapkan. Melalui buku cerita dan aktivitas membaca bersama, terutama bagi anak di bawah usia lima tahun, pendidikan dan nilai-nilai moral yang positif bisa disisipkan tanpa menuntut atau menyuruh. 

Mereka akan mendapat banyak manfaat yang cukup besar dari aktivitas membaca buku ini, di antaranya:
- Merangsang minat baca
- Melatih disiplin dan kebiasaan membaca
- Menambah kosa kata
- Merangsang imajinasi
- Membuat bonding (ikatan) yang erat antara orangtua dan anak
- Menanamkan nilai-nilai positif tanpa merasa dipaksa
- Belajar mengenal warna, nama hewan, dan benda-benda
- Belajar membaca sesuai usia

Buku ini benar-benar memancing imajinasi anak karena gambar-gambar di dalamnya mampu bercerita banyak. Bumi bungsu saya juga tertarik pada ilustrasi dan ceritanya yang unik. Dengan keterlibatan orangtua sebagai pendamping untuk membantu menyuarakan kalimat-kalimat atau percakapan dalam cerita, maka akan sangat ideal. Bahasa yang disajikan secara bilingual juga menarik minat berbahasa anak dan melatih kosa kata mereka.

Membaca buku selalu seru!

Sayangnya, saya tidak dapat mengetahui profil penulisnya karena dalam buku ini tidak dicantumkan. Padahal saya termasuk orang yang kepo jika menyangkut profil penulis buku, termasuk buku anak, hehehe. Apalagi tentang Korea Selatan yang kini sedang tren di Indonesia dengan drakor dan budaya popnya. 

Namun terlepas dari itu, buku ini sangat layak menjadi koleksi karena ceritanya unik, gambar dan warnanya lembut dengan ukuran buku dan kertas isi (art paper) yang tebal, sangat nyaman bagi pembaca belia. Berulang kali dibaca pun, buku ini tidak pernah membosankan. Bagi para pendongeng (story teller), buku ini wajib Anda miliki! 

Langsung saja cus ke akun Kesaint Blanc di Shopee karena saya juga beli di sana.
HUJAN DERAS membuat udara di Bukit Matahari terasa semakin dingin dan menggigit. Angin yang bertiup membuat pohon meliuk-liuk dan membuat suara gemerisik. Untung saja tenda terpasang dengan baik dan kokoh. Suasana malam yang basah membuat rasa lelah menjadi kantuk yang pasrah.

Jaket tebal, kaus kaki, dan selimut membuat tidur malam tahun baru 2023 begitu nyaman. Rentetan suara kembang api dan terompet di kejauhan seperti alunan nina bobo yang mengantarkan tidur. Tak peduli pesta, tak peduli perayaan. Kami hanya menikmati keheningan dan ketenangan di puncak gunung di sela-sela derai hujan.

Berkemah bareng krucil, rencana lama yang akhirnya terlaksana

“Sudak tak (aku) booking. Tak tunggu ya!” pesan WhatsApp dari Devine, seorang dokter hewan sekaligus sahabatku yang tinggal di Surabaya langsung to the point, bahkan sedikit memaksa. Ini adalah tawaran kedua darinya. 

Pada pertengahan tahun kemarin, keluarganya mengajak kami berkemah di Pacet, Mojokerto. Namun berhubung aku dan Mas Bojo lagi banyak tugas dan deadline yang berkejaran, tawaran itu dengan berat hati kami tolak.

Tapi, untuk tawaran kali ini tak sanggup kutolak lagi karena si krucil belum pernah merasakan kemah sama sekali. Miris banget ya? Heuheuheu. Beda sama emaknya yang sudah naik turun gunung dan berkemah. Apalagi momen ini adalah hari-hari terakhir liburan mereka menjelang aktif sekolah lagi. Tentu saja aku tidak tega untuk menundanya kembali. Jadi, meski deadline tetap mengintai, aku dan krucil mempersiapkan segala “perabotan” yang harus dibawa untuk berkemah. 

Akhirnya tanggal 30 Desember 2022, kami berangkat pada pukul 05.17 menggunakan moda kereta api lokal dari Stasiun Lamongan menuju Stasiun Pasar Turi menuju titik kumpul di dekat kampus UINSA, Surabaya. Kebiasaan memesan tiket kereta melalui KAI Acsess lumayan mempermudah aktivitas liburan kami. Jadi insya Allah gak kehabisan tiket krrn sdh pesan beberapa hari sebelumnya. 

Perjalanan menuju Surabaya menggunakan kereta tentu adalah bagian yang paling krucil tunggu-tunggu. Ndilalah, mereka bertemu dengan teman satu dojang (tempat latihan) Taekwondo saat menunggu kedatangan kereta di Stasiun Lamongan. Tentu mereka terus asyik bercengkerama dan menambah keseruan perjalanan tersebut. Ternyata, teman Xi itu juga akan berwisata ke salah satu tujuan wisata di Surabaya, yaitu Kebun Binatang Surabaya (KBS). 

Duo Xi ketemu sahabat sesama Dojang Taekwondo.

Sesampainya di Pasarturi (Surabaya), aku dan para krucilku sarapan di warung dekat stasiun. Kami memang belum sempat sarapan sebelum berangkat tadi. Maklum, habis shalat subuh kami langsung meluncur ke stasiun. Perjalanan selanjutnya, seperti biasa kami berjalan kaki sampai halte Pirngadi dan menunggu Suroboyo Bus favorit kami yang tiketnya bisa didapat dengan menukarkan botol atau gelas bekas. 

Meski masih pagi, panas sudah mulai menyengat. Suroboyo Bus yang kami tunggu tak lama datang. Tujuan kami tak lain adalah halte UINSA tempat sahabatku, Devine dan keluarganya tinggal.

Selalu ceria naik Suroboyo Bus yang jadi moda favorit di Surabaya

Camping bersama tujuh keluarga

Aku baru menyadari bahwa Devine justru tidak ikut serta berangkat bersama kami ketika suaminya mengatakan Devine masih “ngantor” hari ini, haddeuuuhh.  Sekitar pukul 14.00, kami meluncur menuju Wonosalam, Jombang. 

Saat melihat iringan atau konvoi mobil yang dimulai sejak transit di Rest Area 726, aku mulai merasa santai karena ternyata banyak juga peserta kegiatan berkemah ini, bahkan ada pula yang membawa balita. 

Perjalanan terasa singkat karena pemandangan cukup memanjakan mata yang selama ini sudah lelah menatap smartphone atau laptop terus-menerus. Sekitar pukul 17.00, kami sampai di lokasi perkemahan.

Suasana pegunungan yang dingin, hening, dan basah membuat aktivitas kami selama berkemah selama tiga hari dua malam berjalan santai dan relatif seru,  baik untuk peserta yg dewasa maupun untuk anak-anak. Kami mengopi, memasak bersama hingga mengobrol ngalor ngidul. Anak-anak juga makan bersama, shalat berjamaah, bermain bersama-sama, renang, dan membakar jagung + sosis di malam tahun baru. Meski hujan sering kali turun dan membuat kami harus segera berteduh di tenda, tetapi rasa kebersamaan dan keseruan acara di sana membuat anak-anak menikmati momen-momen tersebut.

Kebersamaan camping di Wonosalam Jombang

Rasa sungkan karena aku dan anak-anak menjadi tamu di antara para peserta lain yang sudah sering mengadakan kemah bareng sedikit berkurang karena sikap ramah dan kebersamaan mereka. Sesekali aku membuka file untuk melanjutkan pekerjaan yang masih menunggu. 

Aku memang tidak sepenuhnya menikmati kegiatan tersebut karena masih banyak tulisan yang harus diselesaikan. Adapun Devine datang pagi hari pada keesokan hari bersama satu keluarga dan bergabung bersama kami. Suasana pun semakin ramai dan meriah karena peserta lengkap sudah. 

Kesibukan bebersih, semangat menyambut hari

Banyak hal yang bisa menjadi pembelajaran dalam kegiatan tersebut, terutama bagi anak-anak. Liburan yang tadinya terpikir akan berlalu begitu saja ternyata memberikan pengalaman yang luar biasa. 

Bagi duo Xi, pengalaman pertama ini mungkin akan menjadi patokan awal untuk menggambarkan bahwa perkemahan adalah sebuah kegiatan yang cukup mengasyikkan dan mereka tidak akan “kapok” untuk mengikuti kegiatan perkemahan berikutnya. 

Asyik berenang walau kedinginan

Aku tidak melarang mereka untuk melakukan hal-hal yang selama ini mereka hindari, seperti bermain lumpur, berenang, atau memanjat bukit di sekitar tempat berkemah. Alhamdulillah, mereka tidak mengalami gangguan kesehatan setelah melakukan aktivitas tersebut. Mungkin hal itu karena udara yang bersih dan segar di gunung serta rasa happy yang mereka rasakan sehingga kekebalan tubuh mereka tumbuh dengan baik. 

Bukit Matahari dan belajar mencintai alam

Ketika mendengar nama Bukit Matahari di Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, hal pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah sebuah tempat yang berupa hutan di atas gunung yang “mungkin” tidak banyak sentuhan tangan manusia. 

Akan tetapi, gambaran tersebut ternyata sangat berbeda dengan kenyataan yang aku temui. Bukit Matahari merupakan sebuah tempat yang memang sudah dipersiapkan untuk menjadi lokasi wisata dan berkemah serta telah memiliki fasilitas seperti lahan perkemahan, pendopo, toilet, mushala, kolam renang hingga kedai.

Anak menulis saat senggang berkemah.

Salah satu yang menarik perhatianku ketika menikmati suasana siang maupun malam hari di Bukit Matahari adalah banyaknya pengunjung atau wisatawan, bahkan dari luar peserta perkemahan yang mencari jalan atau jalur menuju sungai dan air terjun. Tempat tersebut merupakan satu dari sekian hal yang luput untuk kami jelajahi akibat curah hujan yang tinggi. Para penjaga wilayah mengatakan bahwa lokasi tersebut sangat berbahaya untuk dijelajahi karena medan menjadi licin dan rawan akibat hujan.

Hal lain yang menarik perhatian adalah banyaknya pengunjung kedai yang ternyata merupakan para anggota pecinta alam dan mereka yang tergabung dalam jaringan komunitas yang melakukan upaya atau kegiatan konservasi alam. 

Salah satu warga yang menjadi pelayan di kedai menjelaskan bahwa mereka menanam bibit-bibit pohon yang akan digunakan untuk menanami hutan, bukan hanya di wilayah Wonosalam atau Jombang dan sekitarnya, tetapi juga hingga ke luar daerah seperti Malang dan Sidoarjo. Siapa pun yang memiliki niat atau tujuan untuk melakukan konservasi alam dan mengajukan kerja sama akan mereka bantu dengan penyediaan bibit tersebut.

Aku mendengarkan paparannya sambil ngopi di kedai saat mendampingi krucil berenang dan penjelasan itu menerbitkan kekaguman pada mereka. Banyak pengunjung, baik kalangan pemuda atau pun mereka yang berkeluarga mendengarkannya dengan penuh antusias. Idealisme yang dimiliki oleh pengelola bumi perkemahan ini memang layak untuk diapresiasi.

Mereka yang mengadakan kegiatan berkemah di tempat ini diajak untuk ikut serta dalam upaya menjaga kelestarian alam dengan melakukan aktivitas konservasi dan bahkan sesederhana menjaga lingkungan dengan tidak merusak pepohonan atau tidak membuang sampah sembarangan. Terbayang dong jika tempat tertinggi di Bukit Matahari tersebut penuh sampah, tentu akan merusak lingkungan dan bisa menimbulkan bencana.

Hati-hati kecanduan camping!

Banyak hal-hal menyenangkan dan dan bersifat edukatif dari kegiatan berkemah yang kami lakukan, terutama bagi krucil. Mereka belajar untuk menikmati suasana alam yang bebas, mencintai lingkungan, bekerja sama, saling berbagi, saling menjaga satu sama lain, bermain bersama, juga mengenal teman-teman baru di luar lingkungan rumah dan sekolahnya. 

Tentu saja banyak hal yang memang serba terbatas ketika hidup di tengah-tengah alam, tetapi hal itu mengajarkan kita untuk bersikap empati kepada masyarakat di tempat-tempat terpencil yang akses terhadap berbagai hal tidak mudah seperti pada masyarakat perkotaan. Kita tidak mudah mendapatkan makanan yang kekinian, mendapatkan aliran listrik, termasuk menggunakan smartphone karena ada yang sulit mendapatkan sinyal internet. Bumi sempat menyeletuk, “Kurir G**bfood gak bisa antar sampai ke atas sini ya, Bunda?” Ada-ada saja celoteh krucil ini. 

Bahagia mejeng di alam terbuka

Meski demikian, kearifan lokal juga banyak terungkap. Masyarakat di sekitar bumi perkemahan tersebut melakukan gotong royong dan saling tolong-menolong, yang terasa tulus, ketika kami mengalami kesulitan. Salah satu contohnya ketika kendaraan-kendaraan kami terperosok ke dalam parit menuju ke puncak bukit. Mereka segera memberi bantuan seperti mendorong kendaraan tersebut, mengambilkan alat-alat untuk mengungkit ban, membawakan barang-barang atau perlengkapan (khususnya keperluan anak-anak) dengan motor yang harus dilakukan bolak-balik. Seru dan membuat haru.

Tak heran jika duo Xi mengungkapkan bahwa mereka akan bersedia jika diajak berkemah lagi. Hal-hal yang dirasakan “susah” atau membuat repot tidak menjadikan mereka jera. Mereka sudah mulai merencanakan tempat atau tujuan mereka berkemah berikutnya, yaitu berkemah di tepi pantai. Wah, sepertinya menarik juga ya?

Yups, camping atau berkemah itu asyik banget. Bagi mereka yang gak suka repot, kini malah ada jenis berkemah yang disebut glamping alias glamour camping. Duo Xi bilang sih itu disebut “pindah tempat tidur aja sih”. Whatever lah, yang penting bikin rileks. 

Ngemil enggak berhenti

Intinya, dengan camping ini kita bisa menikmati keindahan dan suasana alam bebas dan menghirup udara segar serta me-refresh tubuh dan jiwa kita. Dengan demikian, kita siap untuk memulai aktivitas kembali dengan semangat yang baru dan tentu saja bisa menyiapkan bekal untuk rencana camping berikutnya, hahaha.

Wonosalam, Jombang
30 Desember 2022 - 01 Januari 2023