Salah satu kebiasaan khas sebagian masyarakat Indonesia adalah menyantap makanan berat seperti nasi ketika sarapan. Ada yang memulai hari dengan sarapan nasi pecel, nasi uduk, nasi soto, nasi goreng, dan lain-lain. Bahkan ada yang mengatakan bahwa meskipun sudah sarapan dengan makan berbagai kudapan, tetapi belum makan nasi, maka hal itu belum disebut "makan".
Aktivitas makan pun bisa dilakukan di mana saja. Mau di rumah, ruangan kantor, atau studio apartemen yang kini makin populer, nasi tetap jadi primadona bagi orang Indonesia. Lebih-lebih ketika tren pemesanan makanan lewat aplikasi online makin meningkat.
Saat masih bekerja di sebuah perusahaan penerbitan, saya pun jadi ikut terbiasa makan nasi uduk sebagaimana rekan-rekan yang lain. Kebiasaan itu sempat berhenti ketika saya mendapatkan terapi dari dokter setelah diketahui ada kista yang bersarang di tubuh saya. Sempat menjalani terapi selama lima tahunan hingga sembuh, rupanya kebiasaan sarapan nasi kembali menjadi kebiasaan saya. Namun saya berusaha sebisa mungkin menambah menunya dengan sayur atau buah-buahan.
Kesan pertama tidak menggoda
Ketika diajak hijrah oleh suami ke kota Lamongan tempat kelahirannya, terus terang saya tidak terlalu mengenal dengan baik segala hal yang berkaitan dengan kota ini. Mulai dari letak geografis, karakter masyarakatnya, budayanya, hingga kulinernya. Satu-satunya penghubung yang saya kenal hanya soto dan pecel lele yang warungnya bertebaran di Jabodetabek dan sering saya kunjungi.
Terbayang dong betapa berat adaptasi, termasuk dengan cuacanya yang begitu hareudang, berbanding terbalik dengan Bogor yang adem dan punya berbagai alternatif wisata kuliner. Alhasil, Bumi bahkan sempat dirawat di rumah sakit sebagai salah satu proses adaptasi yang sangat berat terhadap cuaca.
Akan tetapi, kami sekeluarga berusaha semaksimal mungkin menciptakan suasana nyaman dan happy dengan melakukan petualangan ke beberapa tempat yang menarik. Sebagai penggemar wisata kuliner, kami pun mencari-cari makanan khas yang bisa ditemukan sambil menjelajah berbagai sudut kota ini.
Makanan yang kami cicipi dan langsung mendapat atensi saya adalah nasi boranan. Makanan ini saya temukan ketika saya penasaran karena menyaksikan lokasinya yang berada di sepanjang pedestrian sekitar alun-alun Lamongan. Para pedagang nasi boran yang duduk di atas dingklik (kursi kecil) berjejer diselingi tempat berupa tikar yang digelar sebagai tempat makan dan lesehan para pelanggan.
Sisi lain keunikan kuliner khas nasi boran, meski sebagian besar lapaknya berada di titik-titik keramaian kota Lamongan, tetapi hampir semua pedagangnya adalah warga suatu daerah yang bernama Kampung Kaotan. Daerah tersebut berada di wilayah sekitar Desa Made, Kecamatan Lamongan. Jarang sekali ditemukan pedagang nasi boran yang berasal dari warga luar kampung tersebut.
Masing-masing pedagang nasi boran (selalu perempuan) memiliki sebuah boran, semacam bakul anyaman bambu berkaki empat sebagai tempat nasi. Boran tersebut bisa berisi nasi putih dan nasi jagung. Lauk pauknya berada di wadah terpisah, biasanya berupa panci atau kuali, berisi ikan bandeng, ikan kuthuk (gabus), ayam kampung, atau ikan sili. Ikan sili ini merupakan ikan endemik yang tidak diternakkan sehingga populasinya terbatas karena tidak setiap saat tersedia sehingga harganya cukup mahal. Ikan yang menjadi lauk utama nasi boran ini disiram oleh kuah berbumbu kental berwarna kuning kemerahan yang rasanya dominan pedas gurih.
Lauk yang biasanya tersedia ketika makan antara lain urap sayur, empuk (gorengan berbumbu yang terbuat dari singkong dan terigu), sambal serubuk, sambal kemangi, ikan asin, dan rempeyek kacang atau teri. Biasanya ada pula pilihan nasinya, yaitu nasi putih biasa atau nasi jagung. Sama seperti nasi padang, saya lebih suka membungkus nasi boran untuk dimakan di rumah ketimbang makan di tempat, kecuali ketika menjamu atau menraktir tamu atau sahabat yang sedang berkunjung ke Lamongan. Nasi yang dibungkus lebih terasa maknyus karena bumbu boran sudah sedemikian bersatu padu dengan nasinya yang membuat rasanya lebih sedap.
Kelezatan melegenda
Seporsi nasi booran selalu menggoda, apalagi sambalnya yang khas. (Foto: belalangcerewet.com) |
Sebelum pandemi melanda, kota Lamongan sering mengadakan lomba nasi boranan. Lomba ini sering diadakan bersamaan dengan rangkaian acara ulang tahun Lamongan. Festival nasi boran termasuk acara yang ramai diikuti karena masyarakat dapat menikmati nasi yang rasanya pedas gurih ini secara gratis. Puluhan pedagang nasi boran akan menggelar lapaknya di sepanjang alun-alun hingga pendopo kantor bupati.
Nah, biasanya para pemenang lomba ini akan semakin banyak memiliki pelanggan dan menarik hati warga yang penasaran serta ingin mencicipi kelezatan rasanya. Akan tetapi, terlepas dari juara atau bukan, kami memiliki beberapa tempat favorit penjual nasi boran.
- Warung nasi boran pojok alun-alun
- Warung nasi boran turunan jembatan Made
- Warung nasi boran pos telon Made
- Warung nasi boran Mbah pasar Made.
Wah, sepertinya Anda akan merasa sedikit kesulitan menemukan lapak tersebut jika tanpa tour guide. Maklum, mereka memang rata-rata tidak memasang tanda pengenal di lapaknya. Oleh karena itu, mungkin akan lebih baik kita ketemuan dulu dan nanti makan nasi boran sama-sama. Bagaimana? Setuju? Hahahaha ....