Minggu malam itu saya mendengar sayup-sayup percakapan kedua anak lelaki saya ketika melintas di depan pintu kamar mereka. Mereka janjian besok duduk di kursi kereta yang saling berhadapan. Mereka pun sudah memastikan pembelian tiketnya lewat online sehingga enggak usah antre beli tiket di loket stasiun lagi. Keduanya juga tidak ingin bangun kesiangan yang bisa menyebabkan ketinggalan kereta. “Adduuuuuhh ... aku sudah enggak tahaaaaannn ingin cepat-cepat pagi. Ya ampun, aku kok kayak terobsesi gini ya?”

Entah belum mengantuk atau terlalu antusias dengan rencana perjalanan esok hari. Namun yang pasti, obrolan mereka itu meninggalkan kesadaran tersendiri dalam pikiran saya. Kesadaran bahwa generasi masa depan kita memiliki zaman dan gaya hidup yang berbeda pula.
Ada Pelajaran di Setiap Perjalanan
Senin adalah hari yang dipilih untuk perjalanan kami ketika itu. Meskipun duo Xi –begitu  saya menyebut dua anak lelaki kami, Rumi (9 tahun) dan Bumi (7 tahun)– harus minta izin pada guru di kelasnya, tidak tampak raut wajah khawatir karena absen pada hari itu. Tak apalah, sesekali anak-anak kami harus “bersekolah” di alam bebas dan bertemu dengan berbagai pengalaman baru.

Hari Senin itu pula semua agenda bisa kami gabungkan. Saya perlu ke toko buku untuk mencari bahan tulisan plus refreshing. Suami saya juga akan menghadiri acara bedah buku yang akan diselenggarakan di sana pada hari itu. Kami pun pernah menjanjikan pada duo Xi membelikan buku sesuai pilihan mereka. Kebetulan suami mendapat hadiah berupa voucher belanja buku dan barang-barang kebutuhan di sebuah pusat perbelanjaan. Kedua toko tersebut tidak ada di kota tempat tinggal kami. Kemacetan yang justru tidak terlalu parah di hari kerja ketimbang di hari Sabtu atau Minggu semakin memantapkan kami berangkat ke Surabaya di hari yang tidak biasa untuk berlibur itu.

Kota Pahlawan memang menjadi kota besar yang terdekat dengan tempat tinggal kami. Akses transportasi yang kami gunakan adalah kereta komuter Sulam (Surabaya-Lamongan) dan Surabaya Bus (Bus Botol). Kami sering berdiskusi sepanjang perjalanan (terkadang membuat penumpang lain kepo dan ingin ikutan juga) tentang berbagai hal yang kami temui. Bukan sebuah kebetulan, seiring dengan perjalanan pada hari itu pengalaman yang kami dapatkan adalah hal-hal berbau teknologi seputar transaksi digital, termasuk di dalamnya Quick Response (QR).
Teknologi QR Jurang atau Jembatan?
Saya berusaha menggunakan semua media, bahkan sekadar “jalan-jalan” untuk belajar karena ada ungkapan bahwa “semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru”. Dengan semangat itulah kami juga mendirikan Saung Literasi yang dijadikan tempat belajar segala hal berbau literasi, termasuk literasi digital secara menyenangkan. Memang belum banyak melekat di masyarakat, tetapi setidaknya sudah mulai bergeliat.
Sebagai pribadi yang masuk dalam golongan usia kaum milenial, saya dan suami memiliki pengalaman yang tentu berbeda dengan anak-anak saya. Saya hidup di masa peralihan ketika hal-hal manual dan digital bergerak saling berkelindan dan mencicipi teknologi tersebut yang mengalir semakin lama deras tak terbendung. Hal-hal semacam ini menimbulkan gagap teknologi (gaptek) bagi siapa pun yang tidak siap dan tidak mau belajar.


Adapun anak-anak kami adalah generasi yang sejak lahir sudah bersentuhan dengan teknologi. Pada akhirnya, ada banyak hal yang harus dikomunikasikan oleh kedua belah pihak beda generasi ini. Oleh karena itu, diskusi, dialog, dan bertukar pengalaman adalah salah satu cara untuk menyambungkan kedua pemahaman tersebut.
Ketika memesan tiket kendaraan atau hotel, membayar tagihan, dan berbelanja secara daring tidak jarang kami melibatkan duo Xi. Mereka sering bertanya ini dan itu yang semakin lama semakin banyak dan kritis. Tentu tidak mudah bagi kami sebagai orangtua untuk menjawab hal-hal yang berkaitan dengan teknologi. Apalagi kami tentu harus menerjemahkannya ke dalam bahasa mereka agar bisa dipahami. Syukurlah kini banyak sekali sumber-sumber informasi, baik melalui media sosial atau situs-situs yang bisa membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, termasuk lewat Festival Edukasi Bank Indonesia atau #feskabi2019.

Satu contoh adalah ketika memesan tiket kereta komuter ke Surabaya tersebut. Model pemesanan dan pembayaran tiket secara online ini sering kami gunakan melalui KAI Access yang dibayar lewat LinkAja. Ketika memesan tiket transportasi atau ketika berbelanja alat-alat elektronik, gawai, buku, perabot rumah, isi token listrik, bayar tagihan PDAM, dll, saat itulah duo Xi ikut belajar dan semakin mengerti langkah-langkah mengisi form pemesanan hingga cara pembayarannya. Tips berhemat, berdonasi, dan menginvestasikan dana di bank yang kini mulai banyak dilakukan secara online juga sudah mulai diterapkan sedikit demi sedikit oleh mereka.

Terkait perjalanan kali ini, hal khusus yang baru kami sadari adalah pertemuan duo Xi dengan berbagai kegiatan “unik” yang dilakukan oleh beberapa petugas. Salah satu di antaranya ketika ponsel ayah mereka diperiksa oleh petugas di pintu masuk stasiun. Ponsel itu ditempelkan pada alat seperti kamera untuk dipindai. Wajah mereka terlihat khawatir juga penasaran menyaksikan kegiatan tersebut. Mereka memerhatikan gambar berbentuk persegi empat yang di dalamnya terdapat pola tidak keruan, lalu ditempelkan pada suatu alat dan menghasilkan suatu bunyi tertentu.


Hal semacam itu mereka temui lagi di gerai-gerai toko makanan (food court) di stasiun Pasar Turi Surabaya. Rasa penasaran mereka memuncak ketika kondektur Surabaya Bus turun ke halte dan (lagi-lagi) menempelkan ponselnya ke gambar tersebut yang ada di sebuah papan. Rupanya sedari tadi mereka tidak henti memerhatikan, tetapi masih terkesima dan menahan diri untuk bertanya. Barulah ketika istirahat, kegiatan itu mereka tanyakan. Rasa penasaran rupanya sudah tidak tertahan lagi.
QR Code dan Kotak-kotak Rahasia
Bagi anak kami yang masih duduk di sekolah dasar penjelasan yang sedikit teknis mungkin akan menyulitkan mereka, juga saya. Namun saya membuat strategi dengan mencari gambaran bahwa kotak berpola awut-awutan itu adalah sebuah kode rahasia. Fungsinya agar mudah dibaca oleh pemindai sehingga informasi di dalamnya dapat disampaikan dengan cepat dan ditanggapi dengan cepat juga. Orang menyebutnya dengan kode (untuk) respon cepat. Itulah alasan kode itu dinamakan QR (Quick Response) code. Orang yang ingin tahu isi kode itu harus mempunyai ponsel atau smartphone yang sudah terpasang pemindai QR code tersebut.

Saya mengatakan bahwa teknologi selalu berubah dan berkembang maju. QR code (kode matriks dua dimensi) adalah perkembangan teknologi dari barcode (kode satu dimensi). Seketika itu duo Xi mencari-cari barcode yang ada di produk makanan mereka, lalu memerhatikannya dengan saksama. Ternyata di sana juga terdapat QR code-nya. Jika di dalam barcode cuma tersimpan informasi secara horizontal, maka QR code bisa menyimpan informasi secara horizontal dan vertikal. QR code bisa menyimpan dan memuat informasi yang lebih banyak daripada barcode.

Saya pun mengisahkan bahwa awalnya QR digunakan dalam bidang manufaktur (produksi di pabrik), tetapi sekarang QR sudah digunakan untuk keperluan yang lebih luas, termasuk dalam bidang komersial (perniagaan/perdagangan). QR code ini memungkinkan orang-orang bisa berinteraksi secara cepat melalui ponsel dengan efektif dan efisien. Kini banyak pelaku usaha yang menggunakan QR dengan memasukkan logo perusahaan, klip video atau foto, dan informasi lainnya.

QR ini bisa memiliki tampilan yang lebih kecil dari barcode karena kemampuannya menampung informasi sehingga bisa tampil sepersepuluh dari kode batang. Kapasitasnya juga tinggi karena dia bisa menyimpan data numerik hingga 7.089 karakter, data alphanumerik hingga 4.296 karakter, dan kode binari hingga 2.844 byte. Kecanggihan ini mau tidak mau membuat duo Xi terpesona. Begitulah trik saya menjelaskan pada anak-anak yang menyukai gaya detektif-detektifan ini. Tinggal klik kodenya, maka terbukalah rahasia informasinya.
QR code juga lebih tahan kerusakan karena bisa memperbaiki kesalahan hingga 30% sehingga datanya masih bisa disimpan atau dibaca meskipun kotor atau rusak. Tanda segi empat di tiga sudutnya berfungsi untuk menjaga simbol tetap terbaca dengan hasil yang sama sekalipun dibaca dari sudut mana pun sepanjang 360 derajat. Kecanggihan-kecanggihan inilah yang menjadi alasan QR banyak digunakan dalam berbagai keperluan.

QR dan Langkah yang Serbadigital


Saya sudah memahami dan tidak akan merasa aneh lagi jika sekarang QR mulai banyak ditemukan dalam berbagai kegiatan, seperti untuk kepentingan pendidikan (presensi dan validasi ijazah atau transkrip nilai sehingga otentikasinya terjaga), di perpustakaan (untuk pembayaran denda atau layanan umum), di kartu pelajar (akses informasi KBM bagi para siswa, guru, dan orangtua), di produk makanan (informasi alergi, kandungan kalori, dan nutrisi serta masa kedaluwarsa), di halte bus (informasi keberadaan bus bagi penumpang maupun pengelola), dan kini yang sudah populer adalah model transaksi pembayaran digital berupa e-money. Uang virtual ini bisa dipakai untuk membayar tol, parkir, belanja di toko daring, makan di kafe, ojek online, bahkan menyumbang untuk masjid lho. Efektivitas dan efisiensi yang menjadi dasar kehidupan masyarakat milenial jelas tergambar dalam pembayaran digital semacam ini.


 QR untuk Transaksi yang Praktis dan Mudah
Pengalaman kami dalam bertransaksi QR melalui aplikasi seperti LinkAja atau OVO sudah akrab dalam kehidupan kami sehari-hari karena telah menjadi andalan untuk berbagai keperluan atau kebutuhan. Tinggal di kota kecil yang relatif serba terbatas tentu menjadi sangat terbantu. Beragam transaksi, mulai dari usaha, berbelanja, dan membayar kebutuhan harian hingga pemesanan tiket transportasi dan akomodasi kami lakukan dengan aplikasi tersebut.


Kepraktisan adalah alasan yang melekat ketika saya memilih model pembayaran digital ini. Praktis karena saya hanya membutuhkan smartphone dan akses internet. Hal ini menghindarkan saya membuang waktu hanya untuk membayar tagihan sehingga tenaga atau waktu bisa dihemat dan kami gunakan untuk melakukan kegiatan produktif lainnya. Sebagai ibu rumah tangga dengan berbagai aktivitas yang menguras energi, kepraktisan adalah sebuah hal yang sangat diutamakan.
Penggunaan QR juga mudah dan memberi kemudahan, terutama ketika banyak hal yang harus dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan. Saat saya sedang menulis atau berbisnis ala ibu rumah tangga, tetapi di saat itu pula saya perlu menyelesaikan transaksi keuangan, maka transaksi melalui fitur-fitur pada dompet digital tidak mengharuskan saya beranjak dari tempat beraktivitas. Sepertinya frasa “mudah dan cepat” dalam bertransaksi merupakan hal yang sulit dilepaskan bagi emak milenial yang ingin ikut #majukanekonomiyuk.

Cashless dan Sumber Daya Alam yang Terjaga
Kehadiran dompet digital saat ini tentu sedikit demi sedikit akan mengubah perilaku sebagian dari kita, termasuk saya. Uang kertas atau koin akan semakin jarang dipergunakan. Meski demikian, saya tetap mengajarkan dan berusaha menerapkan pada duo Xi serta murid-murid di Saung Literasi untuk merawat uang (fisik) yang hingga kini masih mereka gunakan. Bukan sebagai bentuk pemujaan berlebihan pada uang, tetapi sebagai bentuk penghargaan warga negara terhadap simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan. Peralihan dari sistem pembayaran manual menuju transaksi serba digital memang tidak bisa berubah sekaligus.

Berbeda dengan uang kertas atau koin, uang digital tidak membutuhkan perawatan lebih rumit dan relatif aman. Kita enggak perlu ribet membawa uang fisik yang memakan banyak tempat. Hal lain yang menurut saya lebih penting adalah terkendalinya penggunaan sumber daya alam, seperti kertas. Dompet digital akan menjadikan gaya hidup cashless dan hal itu dapat membantu upaya menjaga lingkungan.
QR Code Bisa Hemat karena Dapat Cashback
Sebagai ibu rumah tangga yang menjadi pengendali keuangan rumah tangga, saya sangat beruntung jika mampu berhemat dalam pengelolaan keuangan. Transaksi #pakaiQRstandar, baik dalam keperluan transaksi kebutuhan sehari-hari maupun dalam dunia usaha memberikan banyak efisiensi biaya. Sekarang ini, siapa sih yang menolak penawaran pemberian bagi para pembeli berupa persentase pengembalian uang tunai atau uang virtual atau terkadang pemberian suatu produk setelah berbelanja? Banyak transaksi QR yang memberikan keuntungan dengan memberikan cashback dan hal itu sangat membantu untuk penghematan keuangan keluarga sekaligus #gairahkanekonomi.


Cashback tersebut bisa kita gunakan dalam transaksi atau pembelanjaan berikutnya dan saya sering kali mendapatkan kelebihan dari hal itu. Ketika berbelanja, saya sering mendapat cashback tersebut dan cashflow (arus) keuangan keluarga kami terbantu menjadi lebih positif.


Alasan-alasan itulah yang menurut saya membuat transaksi digital menjadi gaya hidup yang semakin digandrungi kaum milenial. Saya dan keluarga kini menjadi bagian dari itu meski tinggal di daerah yang belum sepenuhnya mengadopsi nilai dan gaya hidup digital. Keberadaan smartphone dan akses internet membuat kami mampu mengikuti derap perkembangan. Praktis, mudah, cepat, relatif aman, cashless, dan memberikan banyak keuntungan dibanding transaksi manual serta kenyamanan karena transaksi bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun serta memberi nilai tambah yang mendukung mobilitas kaum milenial sehingga bisa menikmati momen kebersamaan dengan keluarga atau sahabat secara lebih berkualitas.


Ketika saya ingin menyumbang untuk masjid atau santunan bencana misalnya, dompet digital membuat hal itu semakin mudah dan cepat. Saya selalu bilang pada anak-anak dan murid saya bahwa kemajuan teknologi harus membuat kita semakin manusiawi. Uang memang semakin lama hanya menjadi deretan angka, namun dengan rela berbagi uang akan menjadi berharga dan membawa bahagia. Bukan tidak mungkin Saung Literasi kami pun akan menggunakan teknologi QR ini. Duo Xi bilang, tinggal klik kode QR-nya, lalu terbukalah rahasia informasinya. Secepat dan sesimpel itu!
x