MEMASUKI BULAN FEBRUARI yang konon disebut bulan penuh cinta, ada kegembiraan yang saya rasakan dalam hati. Seperti Tasya Kamila yang berseru dalam lagu Libur Telah Tiba, “Hore, hore, hore!” saya ingin memekik tapi cukup dalam hati karena bulan ini saya merasa sangat happy. Bukan berarti bulan-bulan sebelumnya tidak gembira ya, cuma memang ada hal-hal yang menemukan momentumnya pada bulan kedua ini.
Bukan, bukan sebab bisa beli apartemen buat investasi atau beli mobil baru sebagai sarana transportasi. Bukan beli beli iPhone terbaru atau paket liburan mewah ke pulau nun jauh di luar negeri. Namun yang jelas banyak yang bikin hati hepi.
Kalau ditelisik, tentu saja banyak sekali kebahagiaan yang datang menghampiri. Namun untuk blogpost kali ini, saya ingin menyebutkan tiga saja hal menyenangkan yang lewat selama Februari. Saya bilang 'lewat' bukan berarti bakal berakhir di bulan ini loh, tapi hadirnya memang bulan kedua tapi sensasinya saya yakin akan berlanjut hingga bulan-bulan dan bahkan tahun-tahun berikutnya--apalagi untuk kebahagiaan poin kedua.
1. Orderan mengedit buku
Sebelum resign untuk mengasuh dua bocah 11 tahun lalu, saya bekerja sebagai editor buku sekolah di sebuah penerbit di kawasan Ciawi, Bogor. Begitu berhenti kerja, saya tidak pernah mengerjakan editing dari penerbit tersebut. Tawaran jadi editor freelance justru datang dari penerbit kompetitor. Tentu saja saya terima karena selain perusahaannyaa lebih bonafide, saya juga butuh menyalurkan passion sebagai penyunting naskah. Jadi semacam mengaplikasikan ilmu yang sudah saya pelajari sewaktu kuliah.
|
Menyunting buku lagi untuk meraup rezeki |
Ternyata pembayaran di penerbit ini sangat cepat dan rapi, jauh dibanding penerbit tempat saya sebelumnya bekerja. Suami saya malah pernah tak dibayar setelah menerjemahkan beberapa bab buku pelajaran dengan dalih penerbit saya itu membatalkan penerbitan buku yang dikerjakannya. Kami tentu saja gondok sebab pekerjaan telah dilaksanakan, jadi apa pun keputusan mereka seputar naskah harusnya tidak memengaruhi pembayaran atas jerih payah pekerja lepas.
Nah, job terakhir dari penerbit asyik tersebut kira-kira diberikan tahun 2017 silam, selang beberapa bulan saya pindah ke Lamongan. Lalu vakum dan baru diajak lagi bekerja sama untuk menyunting naskah buku dua pekan lalu. Nomor WA saya sempat ganti dan untunglah editor di sana masih menyimpan nomor kontak suami yang kemudian dihubungi untuk menanyakan kesediaan saya menyunting buku lagi.
Saya happy bukan main sebab saat pandemi masih mendapat cipratan rezeki tanpa harus ke Jakarta, cukup bertahan di rumah saja. Bukan hanya uang dapur yang bertambah, tapi juga ilmu yang kembali dipakai dan semoga bermanfaat untuk anak-anak Indonesia.
2. Resep warisan ibu mertua
Kegembiraan kedua tak kalah menggiurkan, bahkan sangat penting. Ceritanya sewaktu tinggal di Bogor saya sering mendapat oleh-oleh berupa bumbu masak buatan ibu mertua selepas kami mudik. Bumbu ini tinggal saya olah dengan siraman santan kental dan tambahan ikan asap (biasanya gabus) atau ikan laut panggang. Sedap betul kalau sudah matang, bau harum ikannya memperkuat kegurihan bumbunya.
|
Kuah mangut buatan ibu mertua sangat lezat disantap kapan saja. |
Bumbu mangut, itulah namanya dalam bahasa Jawa yang didominasi kluwek. Mungkin mirip sayur gabus pucung kalau dalam kuliner Betawi. Sama-sama kaya rempah dan bumbu yang membuatnya menggugah selera. Ini bukan klaim sepihak loh karena baik teman dari Semarang maupun Bogor yang beberapa kali mencicipinya pun mengamini kelezatannya. Saking senangnya pada sayur bikinan ibu mertua, mereka sampai mencocolkan tetel atau uli ketan ke dalam kuahnya. Itu semacam inovasi cara makan yang mereka temukan dan nikmati sendiri.
Dari situ tebersitlah niat untuk mengemas bumbu ini dan menjualnya secara komersial. Namun maksud itu tak pernah dianggap serius oleh ibu mertua. Setiap kali menyatakan niat saya mengemas dan menjualnya, ibu biasanya cuma tersenyum seolah saya bercanda. Saya menduga beliau menganggap bumbu itu biasa saja sehingga terlalu berlebihan jika harus disebarluaskan di pasaran.
|
Kuah lezat mangut bisa menjadi menu andalan keluarga Indonesia. |
Saya tertarik menggagas penjualannya dengan empat alasan. Pertama, rasanya enak sehingga layak dibagikan agar citarasa itu ikut dinikmati oleh lebih banyak orang. Istilahnya ya berbagi kebahagiaan lewat kuliner lokal. Kedua, saya ingin agar resep itu awet dan tidak hilang dari tradisi keluarga sebab tak ada seorang pun yang pernah memasaknya selain ibu mertua. Adik ipar cewek yang tinggal serumah ibu pun tak sekali pun berkesempatan mencobanya.
Alasan ketiga, penghargaan atas dedikasi dan kepiawaian ibu mertua dalam kuliner tradisional yang ia pertahankan selama puluhan tahun. Melayani keluarga sepenuh hati, juga para tetangga setiap kali mereka punya hajatan, sungguh layak diapresiasi dengan mengemas resep dengan rapi dan memikat. Alasan keempat tentu saja faktor finansial. Prospek ekonomi bumbu masak instan, apalagi selama pandemi, sangatlah besar. Maka menjual bumbu siap masak menjanjikan potensi profit yang lumayan asalkan dikemas menarik dan pemasarannya ciamik.
Nah, baru dua pekan lalu beliau memberi lampu hijau soal rencana saya menjualnya. Beliau sudah meminjami saya timbangan digital dan bersedia memandu kapan saja saya siap untuk menakar bahan hingga mengolah sampai jadi. Harap maklum, selama ini ibu enggan membagikan resepdan hanya mengandalkan perkiraan tanpa porsi yang presisi. Kali ini lain, beliau mau dan siap membantu. Hooray!
3. Bingkisan dari teman
Hal menyenangkan lain yang terjadi pada bulan Februari adalah bingkisan yang datang dari tiga orang teman. Ceritanya saya dan suami sempat diuji dengan sakit. Entah bagaimana ceritanya saya dan suami mendadak kehilangan indera perasa dan penciuman selama tiga hari sehingga curiga jangan-jangan kena Covid-19. Kalau suami diawali demam, maka saya hanya mual sedikit. Dokter memberi obat-obatan termasuk antibiotik dan vitamin C agar kami cepat pulih sambil meminta melakukan isolasi mandiri (isoman).
Selama isoman, yang menjadi kendala adalah memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mendengar kami mengalami gejala yang sama seperti dia, seorang teman di Tangerang bergegas mengirimkan obat dan vitamin yang terbukti ampuh untuk menangani gejala-gejala itu. Adapun kebutuhan makan sangat terbantu oleh seorang teman yang tinggal di kompleks sebelah. Lantaran suami lama tak muncul dalam kegiatan berbagi sarapan setiap Jumat pagi, ia pun mengontak kami dan menawarkan bantuan jika diperlukan.
Saya lalu memberinya list berisi barang yang kami butuhkan agar dibantu belikan. Sekitar sejam kemudian, seorang kurir datang membawa paket besar berisi banyak makanan, termasuk roti tawar, meises, telur, gula, minyak, kurma, mi instan, dan bumbu masak. Pokoknya sungguh membantu kami yang belum bisa keluar jauh.
Yang bikin kami terharu adalah ia menolak menginformasikan nomor rekening agar kami bisa membayarnya. Sungguh di luar dugaan ketika kami bersikukuh mengganti paket sembako tetapi ia terus-terusan menampik sebab sudah merasa seperti saudara sendiri.
"Biarlah, Mas, itu dari saya. Jangan dipikirkan. Kita seduluran," ujarnya lewat pesan WA di hape suami menanggapi kengototan kami untuk mengganti karena sudah dibantu belikan.
Kami kebetulan sama-sama relawan dalam komunitas NBC (Nasi Bungkus Community) di Lamongan di mana suami kebagian merekam dan mengedit video kegiatan untuk dikirimkan sebagai laporan kepada donatur setiap pekan. Dari situlah kami mengenal satu sama lain, memang sudah seperti saudara sendiri lewat berbagai kegiatan sosial sejak 2018. Mulai dari santunan anak yatim dan janda, khitanan massal, bantuan air saat kemarau panjang, juga menolong korban banjir di kota kami.
Relawan lain yang mendengar kondisi saya tak kalah sigap dengan mengirimkan kurir yang membawa obat-obatan. Semuanya gratis padahal jumlahnya banyak loh. Sungguh tak bisa dilukiskan dengan kata-kata kebahagiaan kami. It's truly beyond our honest expectation.
Dengan tambahan konsumsi madu, susu murni, minum berbagai multivitamin, dan tentu saja berjemur setiap pagi, kini kondisi kami membaik, tinggal menggenapkan masa isoman sebelum akhirnya bisa bebas keluar seperti dulu lagi setelah stay at home selama sebulan lebih. Ini berkah luar biasa apalagi kini saya mendapat job lagi untuk menyunting buku pelajaran.
Itulah tiga keping kegembiraan saya selama Februari yang cenderung basah ini. Hujan turun terus setiap hari meskipun tak sampai menimbulkan banjir seperti awal tahun lalu. Namun satu hal yang pasti, banyak pelajaran yang kami petik: tentang rahasia rezeki, tentang potensi ekonomi kuliner lokal yang lahir dari mertua tercinta, juga tentang kebaikan para sahabat yang tak pernah terbayangkan.
Saya yakin pembaca juga diliputi kebahagiaan pada bulan ini, sekecil apa pun tentu sangat berarti. Jangan berkecil hati, pandemi toh tidak abadi jadi saya yakin akan berlalu pada saatnya nanti. Sebagaimana saya bisa memekikkan, "Hooray aku dapat job lagi di bulan Februari!" maka Anda pun bisa berteriak dengan penuh semangat, "Yippee, I'm happy for what I am today!"