Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan
There’s something delicious about writing these first few words of a story.
You can never quite tell where it will take you.
Mine took me here, where I belong ….

Ada yang terasa lezat saat menuliskan kata-kata pertama ini pada sebuah cerita.
Kau mungkin tak pernah tahu ke mana kata-kata itu akan membawamu.
(Kata-kata) milikku telah membawaku ke sini, di tempat aku berada saat ini.

UCAPAN BEATRIX POTTER—penulis dan ilustrator asal Inggris yang terkenal—dalam adegan pamungkas film Miss Potter itu seketika terasa membius, meresap ke dalam hati, dan siap meletupkan banyak imajinasi. Gambaran ini hampir serupa dengan pengalaman saya saat remaja beberapa puluh tahun silam. 

Menulis di alam membangkitkan semangat dan inspirasi. (Foto: pixabay/pasja1000)

Ketika itu saya sering duduk santai sambil menulis dan membaca buku di pinggir sebuah kolam ikan yang bersih dan tenang tak seberapa jauh dari samping rumah. Tanah di sekitar kolam itu secara alami ditumbuhi pepohonan rindang dan rerumputan yang bersih dan asri. Dua angsa putih berenang hilir mudik diiringi angin sepoi-sepoi.

Bagi sebagian besar pembaca, penulis, atau orang-orang yang bergumul dengan kata, diksi, atau kalimat, terutama yang terjalin indah sebagaimana yang dirangkai oleh para sastrawan, suasana hening di tengah alam yang sejuk dan asri adalah sebuah dambaan. Lewat ketenangan itu, mereka berharap bisa melahirkan beragam ide atau penemuan rangkaian kata indah untuk sebuah tulisan dan—pada perjalanan kata-kata itu selanjutnya—menjadi sebuah kenikmatan yang justru tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. 

Halus dan indahnya suatu karya sastra yang ditulis atau dibaca bahkan bisa menjadi katarsis dari pergulatan batin atau ketegangan emosional dalam diri seseorang. Tak heran jika membaca dan menulis pun sering kali menjadi terapi dan pengobatan bagi mereka yang mengalami tekanan dalam jiwanya. 

Menikmati sastra demi merawat budaya dan menghaluskan rasa

Pada zaman serbadigital sekarang ini, sendi-sendi budaya di masyarakat banyak yang mulai goyah dan menjadi PR kita semua sebagai anak bangsa. Perkembangan teknologi digital memiliki dampak positif dan negatif yang berkelindan sehingga harus kita sikapi dengan bijaksana. 

Gawai seperti ponsel pintar (smartphone) sudah seperti belahan jiwa yang tak terpisahkan dalam keseharian sehingga pengaruh informasi begitu deras tak terkira. Kemajuan teknologi melahirkan kemudahan dan kecepatan, tetapi di sisi lain juga turut menghadirkan cabikan pada moral dan nilai-nilai kepribadian yang terkoyak akibat tidak kuatnya menghadapi benturan dengan budaya global yang tidak sejalan dengan nilai budaya bangsa yang sejatinya adiluhung.

Betapa miris ketika kita menemukan kenyataan bahwa netizen negeri ini berada di peringkat pertama dalam hal pengguna ujaran-ujaran kasar padahal bangsa ini sejak dulu terkenal dengan keramahan dan kesopanannya. Tingkat literasi siswa dalam Program for International Student Assesment (PISA) masih jauh berada di bawah padahal negeri ini pernah melahirkan banyak tokoh bijak dan cerdik cendekia.

Perilaku korupsi pun berurat berakar padahal religiusitas terasa begitu kental dan mestinya menjadi pedoman moral. Belum lagi ancaman radikalisasi dan intoleransi yang masih merongrong anak negeri, dan masih ada yang lainnya. 

Siapa bilang warga desa tak butuh sastra?

Tanpa bermaksud mengecilkan hati, realitas ini selayaknya menjadi lampu kuning dan PR bagi kita semua tanpa kecuali. Generasi milenial dan generasi alpha yang kini menjadi bagian terbesar populasi jelas harus menjadi bagian dari benah-benah ini. Menata kembali sendi-sendi kepribadian melalui penanaman kembali nilai-nilai moral bangsa yang adiluhung bisa dimulai dari sudut humaniora, pendidikan, dan lingkungan. 


Tentu saja ini bukan pekerjaan yang bisa dilakukan dengan mudah. Namun, melihat Heri Chandra Santoso, sosok berperawakan kecil dengan kepribadian yang ramah, supel, lincah, dan berpenampilan bersahaja, yang concerned untuk mengenalkan sastra bersama Komunitas Lereng Medini di pelosok desa sejuk di wilayah Gunung Ungaran, Kendal, Jawa Tengah akan membuat kita jadi percaya bahwa idealisme itu masih ada. Bahkan, hingga hari ini ia telah menapaki langkah bersama komunitasnya selama lebih dari 15 tahun.

Semangat Beatrix Potter yang memiliki kepedulian pada lingkungan masyarakat sekitarnya dengan mendonasikan 4.000 hektar tanahnya kepada para petani di Inggris tampaknya selaras dengan kiprah Heri yang memiliki wawasan dan pandangan yang maju meski tinggal di desa pada komunitas masyarakat Desa Boja, sebuah desa yang berada di atas ketinggian sekitar 2.050 mdpl di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.

Meski bukan dalam bentuk donasi tanah sebagaimana dilakukan pencipta karakter Peter Rabbit itu, Heri memantapkan dan mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan kecintaan pada sastra secara khusus dan kesadaran literasi secara umum pada lingkungan masyarakat desanya, Boja. Sastra, di mata seorang Heri, tidak hanya monopoli segelintir orang. Penduduk desa yang berkiprah di bidang pertanian dan peternakan juga sangat berhak untuk bersastra. 

Pergulatan membidani Komunitas Lereng Medini

Sastra, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai dengan “bahasa (dalam hal ini adalah kata-kata atau gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari)”. Makna lainnya adalah kesusastraan, kitab ilmu pengetahuan, tulisan, atau huruf. Dengan demikian, sastra merupakan bacaan atau tulisan yang memiliki nilai ketinggian, keagungan, atau kehalusan dan sangat berharga. 

Heri merasa sastra bisa menjadi salah satu instrumen atau sarana untuk menjahit kembali nilai-nilai kebaikan sekaligus keindahan jiwa. Lebih dari sekadar mencintai rangkaian kata, mempelajari, dan menikmatinya, sastra sebenarnya menjadi sebuah mata rantai untuk menata kembali akar budaya dalam masyarakat. 

Semangat Heri dalam menebarkan kecintaan pada sastra dan kesadaran literasi tersebut melatarbelakangi pendirian Komunitas Lereng Medini (KLM). Heri merintis langkah pertama dengan membuka perpustakaan gratis bernama Pondok Maos Guyub (sering disebut Guyub) pada tahun 2006. Perpustakaan ini memanfaatkan sebuah rumah di Jalan Raya Bebengan 221, Bebengan, Desa Boja yang dimiliki Sigit Susanto, sesama penggagas KLM yang saat ini bermukim di Swiss. 

Heri Chandra Santoso saat membaca puisi (Foto: jejakliterasi.id)

Heri yang merupakan lulusan Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) jurusan Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang bersama kawannya, Sigit Susanto, seorang pegiat sastra asal Boja sekaligus (kala itu) menjadi moderator milis “Apresiasi Sastra” menggagas berdirinya Komunitas Lereng Medini pada tahun 2008 silam. 

Komunitas Lereng Medini bangkit berdiri

Cikal bakal pembentukan komunitas diawali dengan obrolan antara tiga orang, Sigit Susanto, Nurhadi, dan Heri C. Santoso di sela-sela hajatan Parade Obrolan Sastra pada tanggal 3-11 Mei 2008 di Pondok Maos Guyub.
 
Sambil lesehan mereka membahas tentang perlu adanya ruang bersama sebagai suatu wadah untuk saling berbagi ide antarpengunjung perpustakaan Pondok Maos Guyub dan pencinta sastra di Boja. Setelah konsep itu disepakati, tepatnya tanggal 3 Agustus 2008, mereka membentuk komunitas yang bisa mewadahi atau memfasilitasi aksi dan kreativitas anggotanya, khususnya dalam proses kreatif kepenulisan, baik sastra maupun nonsastra. 

Heri mengungkapkan bahwa nama Lereng Medini disepakati sejak awal karena menjadi ikon lokalitas bagi mereka selama beraktivitas di Pondok Maos Guyub. Medini merupakan nama sebuah perkebunan teh di sebelah barat Gunung Ungaran. Teh Medini dianggap menginspirasi mereka, yaitu orang-orang di pojok desa yang semangatnya bersemi untuk belajar sastra.

Keindahan kebun teh Lereng Medini (Foto: sonora.id)

Rekan yang hadir saat itu sekaligus menjadi generasi pertama anggota Komunitas Lereng Medini adalah Dwi Yuliahsari, Catur N. Muliana, Rizki Putri, Dewi Rahma (SMAN 1 Boja), Silvia NC, Wulan F. (SMAN 1 Singorojo), Annisa Nur Aini (MA NU 04 Boja), dan Amelina (SMPN 1 Boja). Seiring waktu berjalan, perkuliahan dan pekerjaan membuat mereka mengurangi aktivitas di KLM. Akan tetapi, regenerasi dilakukan untuk membuat komunitas tetap bisa berjalan dan bertahan eksistensinya. 

Komunitas menyepakati waktu yang luang dan efektif untuk berdiskusi pada hari Minggu sore dua minggu sekali dan pada setiap pertemuan ada program masing-masing. Pondok Maos Guyub dijadikan sebagai sekretariat dan base camp anggota komunitas yang saat itu jumlahnya mencapai puluhan orang dari beragam usia dan berbagai latar belakang. 

Akan tetapi, kata Heri, “Sebelum belajar sastra, kita perkenalkan mereka dengan bacaan.” Hal ini berarti bahwa Pondok Maos Guyub turut memiliki andil yang besar untuk mempersiapkan anggotanya mengikuti aktivitas di KLM. Tentu saja sistem semacam ini merupakan sebuah terobosan hebat karena peran mereka yang saling mendukung satu sama lain.

Komunitas Lereng Medini meniti langkah bersama harmoni sastra

Sejak awal, KLM bersifat terbuka bagi siapa pun. Komunitas ini merangkul dan melibatkan para pelajar, guru, dan semua pihak yang ingin belajar sastra, menulis, atau berproses menjadi individu yang kreatif. Masyarakat umum juga tak malu ikut nimbrung di dalamnya karena bagi mereka ilmu, membaca buku, dan sastra adalah hak siapa saja, tidak terkecuali para petani dan peternak. 

Jatuh bangunnya komunitas ini menunjukkan bahwa memang tidak mudah mengawal sastra yang sudah kadung dianggap eksklusif. Namun, hal itu bukan berarti tak mungkin untuk mengusahakan agar sastra bisa dicintai dan justru semakin berkembang luas di masyarakat lereng Medini. 

Kita bisa melihatnya dari beberapa kegiatan yang diadakan oleh Komunitas Lereng Medini terkait dengan belajar dan mengapresiasi sastra bersama masyarakat Desa Boja di antaranya digambarkan sebagaimana berikut ini.

1. Reading Group (Kelab Baca) Novel

Kegiatan ini digelar setiap Sabtu sore yang diikuti lima hingga belasan pelajar mulai dari SD, SMP, SMA, mahasiswa hingga masyarakat umum. Peserta bisa melakukan kajian sastra ini secara mandiri atau dengan membuat reading group, yaitu membaca dan mendalami karya sastra secara bersama-sama tanpa terburu-buru untuk selesai.  

Kegiatan kelab baca KLM (Foto: litera.co.id)

Pada kajian ini, beberapa novel telah dibaca, baik novel berbahasa Indonesia atau novel berbahasa asing (Inggris). Contoh novel yang pernah dikaji adalah Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (bahasa Indonesia) dan The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway (berbahasa Inggris). Uniknya, Ahmad Tohari pernah dihadirkan di hadapan peserta reading group novel di sela hajatan Parade Obrolan Sastra ke-4 pada 22 Mei 2011. 

“Ini dilakukan sebagai bentuk apresiasi para peserta yang telah tekun dan menyuntuki novel klasik ini,” papar Heri yang sejak kuliah telah aktif berorganisasi.

2. Bedah karya dan workshop penulisan kreatif

Bedah karya, bedah buku, dan diskusi adalah kegiatan yang digelar bulanan oleh KLM. Akan tetapi, agenda ini sulit untuk digelar secara rutin setiap bulan karena kesibukan masing-masing anggotanya. Terkait kegiatan ini, KLM tercatat hanya pernah menerbitkan produk berupa Buletin Jejak dan itu pun hanya bisa bertahan beberapa edisi saja karena faktor kurangnya SDM untuk membuat buletin tersebut.

Salah satu kegiatan jangka panjang KLM yang bisa digelar adalah Hajatan Bahasa dan Sastra dalam rangka memperingati Bulan Bahasa setiap Oktober. Kegiatan ini meliputi apresiasi seni, workshop penulisan kreatif, dan lomba karya tulis sastra dan budaya. 

Heri di tengah Jemuran Puisi (Foto: inibaru.id)

Ada pula kegiatan yang dihelat secara insidental, seperti dalam kegiatan untuk mengisi Ramadan dengan menggelar Pesantren Jurnalistik, Marathon Puisi, Pameran Puisi Jalanan atau Jemuran Puisi, Sastra Sepeda, dan menghadirkan penulis di sekolah-sekolah. 

3. Kendal Novel Award 2022 dan Residensi

Selama ini, kegiatan di ranah lokal yang memberi apresiasi kepada dunia sastra masih sangat kurang. Kegiatan dan apresiasi itu hanya ada di ranah pendidikan formal antarsekolah atau pada momen-momen kalender akademik. 

Inilah yang mendorong KLM menyelenggarakan perhelatan Kendal Novel Award 2022 sebagai bagian dari Bulan Bahasa tahun 2022. KLM menggandeng sejumlah komunitas dan penerbit di Kabupaten Kendal demi mendukung kesuksesan acara ini. 

Para pemenang Kendal Novel Award (Foto: inibaru.id)

Kendal Novel Award dimaksudkan untuk memberi ruang apresiasi sekaligus motivasi bagi penulis di Kabupaten Kendal berupa penganugerahan novel terbaik yang digelar pada Minggu, 30 Oktober 2022 di Kebun Sastra Guyub, Desa Bebengan, Boja. 

Hadiahnya sangat unik berupa kambing peranakan Etawa (juara 1), sepasang kelinci (juara 2), sepasang ayam (juara 3), dan sepasang bebek (juara favorit). Semua hadiah ini memiliki nilai ekonomi dan edukasi yang, menurut saya, memang hanya bisa dilihat dari sudut pemahaman sastra dan kesadaran literasi yang sudah berkembang.

Kendal Novel Award 2022 juga dihelat dalam satu rangkaian dengan Residensi Akhir Pekan. Dalam residensi ini, para penulis yang terpilih difasilitasi untuk belajar secara intens (menurut konsep Jawa dikenal dengan nyantrik) kepenulisan dari ahlinya, yaitu penulis atau sastrawan yang kompeten. 

Residensi angkatan pertama berhasil memilih 10 orang dari berbagai tingkat usia dan daerah di Kabupaten Kendal. Peserta terpilih kemudian secara intens berdiskusi dan membedah karya selama dua hari (Sabtu—Minggu, 22—23 Oktober 2022) di Teras Budaya milik Prof. Mudjahirin Thohir di Sabrang Lor, Kaliwungu. 

4. Penerbitan buku

Penerbitan buku karya anggota juga merupakan agenda jangka panjang KLM. Hingga tahun 2022, tercatat sudah belasan buku yang diterbitkan, di antaranya Donat untuk Kusno: Antologi Puisi dan Cerpen (2008), Kumpulan Catatan Perjalanan Sastra Sepeda di Boja (2009) berisi catatan kegiatan masyarakat ketika diajak bersepeda dan mengunjungi tempat-tempat tertentu, lalu diminta menulis tentang objek yang dikunjungi. 

Yang menarik, mereka juga menggagas penerbitan buku Antologi Puisi SMS Maaf (2009) yang menghimpun puisi dengan ide yang terinspirasi dari kian akrabnya masyarakat dengan telepon seluler.

Menurut Heri, dengan segala keterbatasannya, KLM tidak berlagak mengorbitkan penyair atau cerpenis muda yang terkenal. Tujuan utamanya adalah merangsang pelajar untuk mempelajari sastra dan berprinsip sederhana, yakni mengenalkan sastra, menikmati, dan berkarya. 

Kendati demikian, mereka terbukti berhasil memenangkan beberapa perlombaan penulisan sastra tingkat Jawa Tengah, bahkan beberapa karya mereka juga dimuat di surat kabar. Ini merupakan pencapaian luar biasa meski mereka tinggal di desa.

5. Parade Obrolan Sastra dan Wisata Sastra di Kebun Medini

Parade Obrolan Sastra dan Wisata Sastra di Kebun Medini merupakan program tahunan dan berskala nasional. Acara yang digelar kali pertama pada April 2008 tersebut berbentuk apresiasi dan diskusi sastra pada malam hari selama sepekan berturut-turut. Selain memberi pentas pada sosok lokal, KLM juga mengundang sastrawan kenamaan agar para anggota dan masyarakat bisa menimba ilmu secara langsung seputar proses kreatif menulis sastra.  

Sejumlah sastrawan yang pernah diundang KLM. (Foto: amanat.id)

Beberapa sastrawan kondang yang pernah diundang ke acara ini antara lain Puthut EA (2007), Wayan Sunarta (2008), Anindita S. Thayf (2009), Kurnia Effendi (2009), Agus Noor (2010), Ahmad Tohari (2011), Saut Situmorang (2011), Dwi Cipta, F. Rahardi, dan Remy Sylado (2012), Iman Budhi Santosa dan Martin Aleida (2013), Muda Wijaya (2014), Korrie Layun Rampan (2015), dan Gus tf Sakai (2016).

6. Kemah Sastra di Kebun Medini

Menjadi ajang para pesertanya untuk srawung (membaur) budaya, upaya silaturahim spiritualisme antarindividu dan komunitas, bersastra, dan belajar pada alam adalah beberapa tujuan awal penyelenggaraan dari agenda tahunan ini. Harapan dari adanya perhelatan ini adalah bisa menjadi ruang menyemai proses mengenal sastra secara lebih sederhana. Kemah Sastra yang digelar perdana pada 1—3 Mei 2015 ini menjadi ruang asah, asih, dan asuh antarpenulis, baik itu penulis pemula maupun penulis yang sudah kawakan. 

Lewat ajang ini, mereka yang masih berposes belajar bisa bersapa dan bersua dengan penulis lain serta bisa mengobrol bareng-bareng tanpa sekat dan tak berjarak. Heri menyebut kegiatan ini sebagai obrolan sastra lesehan untuk menggambar suasana santai walau proses belajar tetap berjalan.  

Keseruan Kemah Sastra (Foto: mojok.co)

Kemah Satra diakhiri dengan Wisata Jalan Kaki sejauh 5 km dengan menyusuri lereng Medini menuju Promasan sebagai napak tilas jejak sastrawan F. Rahardi tahun 1970-an. Anak-anak dan masyarakat setempat juga diajak ikut serta sebagai upaya KLM untuk mensosialisasikan kegiatan komunitas dengan mengajak mereka mencoba dolanan kreatif, sulap, dan yoga pagi hari di kebun teh. Instalasi seni genting jerami dan pendirian Gubuk Baca Medini turut menyempurnakan hari terakhir penyelenggaran kemah sastra tersebut. 

KLM menyebar virus literasi pada anak-anak melalui berbagai kegiatan. (foto: dok.KLM)

Selama gelaran acara, ada pula berbagai kegiatan lain yang menarik. Mulai pentas teater, bermain dan berliterasi dengan anak-anak Medini, workshop wayang suket, spontanitas baca puisi, dan musikalisasi puisi digelar dengan antusiasme peserta yang luar biasa. 

Belum lagi sesi menampung buku atau majalah (baru/bekas) untuk didonasikan kepada Gubug Baca Medini, pameran wayang gaga yakni kreasi wayang kontemporer berbahan daun dan tumbuh-tumbuhan, bursa buku, dan pemberian buku kepada perpustakaan Dusun Medini—seluruhnya kian menambah atmosfer literasi dan gairah kesusastraan di sana.

Kemah Sastra ini sudah terselenggara hingga kali keempat (terakhir tahun 2018 atau sebelum pandemi). Acara sengaja dirancang dengan nuansa tanpa jarak, dengan duduk lesehan dan tidur di dalam tenda di tengah kebun sehingga ikhtiar srawung tercapai. 

Sembari menikmati kesejukan udara pegunungan dan mencecap khazanah kearifan dari sastra, para peserta bisa sejenak melupakan rutinitas sehari-hari, mengambil jeda dari hiruk pikuk kehidupan yang mungkin telah kehilangan makna. 

7. Wakul Pustaka (Pustaka Bergerak)

Alih-alih sibuk menyalahkan tentang rendahnya minat baca orang Indonesia, KLM berinisiatif membuat program Wakul Pustaka sebagai upaya jemput bola. Konsepnya sederhana: buku diletakkan di dalam wakul (bakul nasi dalam bahasa Jawa). Bakul-bakul ini lantas dititipkan di warung-warung warga yang mau menerima. 

Agar tidak bosan, judul buku divariasi dengan buku lainnya setelah beberapa minggu berselang. “Daripada menunggu atau main HP, mari baca buku!” ujar Heri mempertegas slogan gerakan Wakul Pustaka. 

Upaya jemput bola untuk mendekatkan pembaca melalui program Wakul Pustaka. (Foto: KLM) 

Bakul dipilih sebagai simbol literasi sebab menyimpan nilai-nilai kearifan. Dalam budaya Jawa, bakul menjadi alat yang serbaguna di dapur keluarga. Bukan cuma menampung nasi setelah matang dari dandang, bakul juga kerap dipakai sebagai wadah bermacam benda, termasuk buah, sayur, hingga umbi-umbian hasil pekarangan. 

Sayangnya keberadaan bakul mulai terkikis seiring penanak nasi (rice cooker) dan semacamnya kian menjadi primadona. Meminjam ungkapan Jawa, wakule ngglimpang (bakulnya terkapar), KLM seolah ingin menegaskan betapa keberadaan petani kini makin terpinggirkan, jadi pihak yang marginal akibat masifnya pembangunan hunian yang mencaplok tanah-tanah di desa sebagai tempat tumbuhnya aneka pangan. 

Simbol kearifan dan perlawanan di tengah budaya serbadigital juga terwakili oleh bakul. Pemilihan bakul sebagai media menyiratkan pesan bahwa asupan gizi berupa ilmu pengetahuan melalui buku tak kalah penting dari gizi dan asupan makanan untuk mengenyangkan perut. 

Kita sangat khawatir akan mengalami stunting pada tubuh atau jasmani akibat kekurangan gizi dan nutrisi makanan, tapi kita jarang peduli bahwa akal dan jiwa bisa mengalami kekerdilan (stunting) akibat kurangnya asupan ilmu pengetahuan, imajinasi,dan budaya dalam pengertian seluas-luasnya.

Menyiapkan generasi penjaga budaya pencinta sastra 

Sebagai organisasi sosial, KLM yang dikomando oleh Heri tak terlepas dari kendala. “Regenerasi menjadi salah satu kendalanya,” ujarnya singkat. Namun, komunitas ini enggan diam atau mati. Meski terkendala minimnya sumber daya, KLM terus berupaya bergerak dan bertahan lewat gebrakan sebagaimana saya uraikan sebelumnya. 

Adapun terbatasnya jumlah pengurus, mereka siasati dengan menjalin berkolaborasi atau berjejaring dengan para pegiat sastra di Kendal dengan mengusung program-program yang bisa dikerjakan bersama. 

Kendala lainnya adalah kuatnya gempuran televisi di rumah-rumah warga dan masifnya perkembangan teknologi, dalam hal ini gawai (gadget) yang sulit terlepas dari genggaman. “Namun, kami sadar diri dan sadar posisi. Sastra belum menjadi isu vital bagi masyarakat. Revolusi masih seputar mengisi perut. Untuk itu, kami pun tak pernah berekspektasi yang lebih,” tutur Heri dengan nada miris tapi menyiratkan optimisme.

Ketika mengungkapkan hal itu, Heri masih tetap optimistis bahwa kegiatan KLM setidaknya mampu membangkitkan semangat dan menyalakan harapan untuk bersama-sama menyemai bibit literasi dan merawat kearifan lokal melalui sastra hingga ke desa-desa. Spirit literasi dan kearifan lokal ini dilakukan sesuai dengan kapasitas dan aktivitas masing-masing pribadi, mulai dari ranah keluarga, sekolah/kampus hingga masyarakat.
 
Persoalan literasi pada masyarakat lokal, bahkan nasional, tak bisa hanya dibebankan pada negara. Kurangnya kesadaran literasi pada sebagian warga di Indonesia memang menjadi problem yang sangat pelik di antara pelbagai persoalan yang kita hadapi saat ini. Kadang, upaya untuk mengatasinya malah terasa seperti menegakkan benang basah. Semua orang seharusnya bisa cancut taliwanda atau bekerja keras dan saling memberi dukungan. 

Heri yang pernah meraih penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Jawa Tengah sebagai Pegiat Bahasa dan Sastra tahun 2014 ini pun sadar bahwa membangun sebuah komunitas harus didukung jejaring dan lingkungan sekitar. 

“Prinsip gotong royong menjadi pijakan kami. Kami sadar, kami tak kan bisa berbuat banyak bila kami sendirian,” ujarnya. Ini sekaligus menegaskan bahwa hanya dengan sinergi kita bisa bergerak maju dan lebih mudah.

Saling support antarsesama jejaring komunitas dan masyarakat sekitar misalnya ditunjukkan oleh KLM pada akhir tahun 2021 dengan menggandeng Komunitas 127 Line.net saat menggelar bedah sastra secara daring. Komunitas 127 Line.net adalah komunitas anak muda pecinta skateboard sehingga kerja sama lintas hobi ini akan memperluas jangkauan sastra.

Agar menjaring banyak peminat, bedah buku sastra daring dilakukan di taman dekat warnet komunitas tersebut dengan memanfaatkan layar lebar melalui telekonferensi. Bedah buku berlangsung menarik dengan kehadiran sejumlah narasumber: Ally Dalijo di Hongkong, Sigit Susanto di Swiss, dan komunitas sastra di Lebak, Banten.

Menikmati sastra menabur keindahan rasa; inspirasi dari Heri

Pantaslah jika Heri diganjar penghargaan Satu Indonesia Awards pada tahun 2011 untuk kategori pendidikan. Munculnya nama Heri sebagai salah satu dari 6 pemenang Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards menunjukkan bahwa pendidikan bukan melulu menyangkut proses belajar di kelas atau bangku sekolah. Penyemaian nilai baik dan penumbuhan budaya positif lewat sastra juga sama pentingnya—sebagaimana yang diyakini Astra.

Heri telah mengiringi KLM lebih dari 15 tahun. (Foto: Satu Indonesia Awards)

Heri Chandra Santoso sudah bergerak dan menolak untuk berhenti. Kecintaannya pada dunia sastra menjadikannya tabah hingga mampu melewati rentang waktu 15 tahun lebih dan Komunitas Lereng Medini saat ini masih tetap eksis berdiri, menemani mimpi anak-anak di Kendal Jawa Tengah. 

Kiprah Heri sebagai koordinator KLM membuktikan bahwa sastra bisa tumbuh di mana saja dan dinikmati oleh siapa saja. Tak melulu oleh mereka yang berjuluk sastrawan, atau mereka yang berpenampilan eksentrik dan hadir di perhelatan sastra bergengsi. 

Dari Heri kita belajar tentang semangat belajar, tentang spirit bekerja tanpa lelah, dan memberi pengaruh melalui kehalusan akal budi, suburnya imajinasi, juga lahirnya kreasi yang memperkaya hati. Semua bisa dimulai dari sekitar kita, tanpa jauh kita mencarinya.

Sastra, baik yang ditulis untuk menghasilkan karya atau hanya sekadar untuk dinikmati dengan membaca tetap akan memberi pengaruh meski secara lembut dan perlahan. Ia lambat laun akan menghaluskan akal budi, merangsang imajinasi, dan melahirkan kreasi sehingga pola-pola budaya bangsa yang tercabik dan tercerabut akan mencari pijakannya kembali.

Kita tak perlu mengerutkan kening ketika belajar atau menikmati sastra. Keindahan karya sastra bisa kita cecap di mana saja. Bisa dengan mengobrol sambil lesehan ditemani kopi atau teh dan kudapan, singkong dan kacang rebus pun tak mengapa.