BISAKAH GENERASI MILENILAL punya rumah? Pertanyaan ini sering diungkapkan ketika generasi milenial, yaitu generasi yang lahir sekitar tahun 1981-1996 atau kini berusia antara 24-39 tahun terlihat begitu selow atau santai menyikapi hal semacam ini. Padahal, sudah menjadi hal yang umum bahwa salah satu impian sebagian besar orang adalah mampu mencukupi diri dalam tiga hal primer (utama), yakni sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (rumah). Dua kebutuhan pertama tentu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Akan tetapi, bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan akan papan atau perumahan, terutama bagi kaum milenial saat ini? 

Kebutuhan akan rumah adalah primer bagi manusia. (Foto: dok. pri)

Kabar yang lumayan mengejutkan adalah berdasarkan data Kementerian PUPR tahun 2019, sebanyak 81 juta generasi milenial di Indonesia belum memiliki hunian sendiri. Padahal saat ini mereka merupakan populasi yang paling mendominasi penduduk di Indonesia. 

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda menuturkan bahwa generasi milenial perlu diberikan edukasi mengenai investasi properti. Masih banyak kaum milenial yang belum mengetahui proses KPR karena dianggap sulit.


Beberapa Faktor Penyebab Gen Y (Generasi MIlenial) Sulit Memiliki Rumah

 1.    Besar Penghasilan, tetapi tidak punya tabungan yang cukup

Generasi milenial dikenal sebagai generasi yang sebagian besar berprinsip menikmati hidup. Oleh karena itu, mereka rela untuk mengeluarkan uangnya untuk hal-hal yang memiliki tujuan untuk menikmati hasil jerih payah mereka. Mereka pun tidak sayang mengeluarkan uang untuk hal-hal yang sebenarnya positif seperti memberi bantuan/sumbangan kepada kaum duafa atau korban bencana. 

Tujuan dalam hidup dan nilai yang mereka anut memang unik, tetapi manajemen keuangan yang belum rapi membuat mereka kadang kesulitan untuk menyisihkan uang atau berinvestasi.

 2.    Punya lifestyle yang konsumtif

Rasanya sulit untuk menafikan bahwa kaum milenial memiliki gaya hidup yang konsumtif. Cara mereka mengisi waktu luang atau bersosialisasi cenderung mengikuti tren dan mudah untuk dipengaruhi satu sama lain. Gaya hidup konsumtif, baik dari segi fashion atau kuliner misalnya, tentu saja mengambil sebagian besar dari dana yang mereka miliki.

 3.    Merasa belum perlu memiliki rumah karena belum menikah

Generasi milenial merupakan generasi yang sebagian besar berfokus pada karir atau pekerjaan yang mereka geluti. Hal tersebut menyita perhatian mereka sehingga banyak yang menunda untuk menikah. Bagi mereka menikah merupakan sebuah kondisi yang membatasi aktivitas, apalagi jika telah memiliki anak. 

Tak mengherankan jika belakangan ini menunda menikah dan child free banyak diadopsi oleh generasi langgas ini. Kebebasan masa lajang juga membuat mereka tidak membutuhkan tempat tinggal secara permanen karena mobilitas mereka yang cukup tinggi.

Pasutri akan lebih tenang jika punya rumah sendiri (Foto: banksinarmas.com)

4.    Tinggal bersama orangtua dan masih ingin merawat mereka

Generasi milenial yang disebut juga generation me atau echo boomers sering kali masih memilih untuk tinggal bersama orangtuanya. Mereka memiliki pertimbangan bahwa dengan tinggal bersama orangtua, maka mereka masih bisa menghemat pengeluaran terkait dengan tempat tinggal sekaligus bisa mendampingi/merawat orangtua mereka.

5.    Mementingkan gawai/gadget dan plesiran ketimbang beli properti

Sebagai generasi yang sangat fasih terhadap perkembaangan teknologi dan informasi, generasi milenial memilih untuk memiliki gawai atau gadget yang bisa mereka andalkan ketimbang hal-hal lain. Demikian pula dengan perkembangan informasi yang sangat cepat dan terlibatnya mereka dalam berbagai platform media sosial, maka pilihan mereka untuk menikmati waktu luang dengan berlibur atau berwisata sangat masif.

Hindari mengejar prestise dan mengorbankan yang primer. (Gambar: freepik)

6.    Pendapatan tidak sebanding dengan kenaikan harga rumah

Berbeda dengan generasi baby boomers yang menjadikan investasi properti sebagai favorit, hal ini disinyalir turut membuat harga properti menjadi luar biasa tinggi, generasi milenial agak kesulitan untuk mendapatkan perumahan karena pendapatan mereka tidak mampu mendukung kepemilikan properti rumah.

7.    Belum menemukan lokasi yang pas

Bagi kaum milenial yang bekerja di perkotaan, tetapi tinggal di daerah pinggiran, lokasi untuk mencari rumah bukanlah hal yang mudah. selain sudah demikian terbatasnya lahan, harga yang tinggi membuat mereka berpikir ulang untuk membeli perumahan di dekat tempat mereka mencari nafkah.

 8.    Harga properti yang terlalu mahal

Menurut data dari CEIC, harga rumah di Indonesia naik sebesar 1,8%, lebih besar dari tahun sebelumnya (Desember 2021) yang menunjukkan kenakan sebesar 1,5%. Kenaikan ini menyebabkan kaum milenial semakin sulit membeli rumah, terutama di perkotaan karena harganya yg sulit untuk dijangkau. 


9.    Bergesernya minat bidang pekerjaan

Minat pekerjaan yang banyak beralih ke industri kreatif, freelancer, atau memiliki usaha sendiri sehingga tidak memiliki slip gaji dan penghasilan tetap. Hal terakhir inilah yang membuat generasi milenial sulit memenuhi persyaratan dalam membeli rumah dengan fasilitas Kredit Kepemilikian Rumah (KPR). 


Tren piknik hanya demi konten pamer perlu dihindari. (Gambar: freepik)

Manajemen Keuangan dan Investasi Bagi Kaum Milenial

Pada awal tahun 2001, saya memulai pekerjaan di sebuah penerbit buku di kawasan Bogor, Jawa Barat. Perjalanan menuju tempat bekerja, saya lakukan setiap hari dengan menggunakan angkot (angkutan kota) dan kereta api. Perjalanan yang memakan waktu rata-rata dua hingga empat jam menghadirkan kelelahan yang luar biasa dalam diri saya. 

Apalagi di tahun 2004 saya sempat melanjutkan studi Strata 2 di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Kegiatan yang saya lakoni ini juga ditempuh dengan menumpang kendaraan umum (bus). 

Perubahan inovatif KRL (Foto: Trie Haryanto/brilio)

Kondisi perjalanan yang sering mengalami kemacetan dan kereta api yang belum senyaman sekarang (saat itu PT KAI berada pada masa transisi di bawah kepemimpinan Bapak Jonan) berefek pada kondisi fisik saya yang sering drop dan menderita penyakit yang justru membutuhkan terapi serta pengobatan cukup lama. 

Pada akhirnya saya menyerah untuk melanjutkan pendidikan tersebut dan berdamai dengan kondisi. Saya kemudian lebih fokus bekerja karena menjadi tulang punggung bagi keluarga setelah Bapak meninggal dunia dan harus merawat ibu yang mengalami stroke. 

Perjalanan panjang untuk pergi dan pulang kantor tersebut pada akhirnya membuat saya berpikir untuk mendapatkan tempat singgah untuk sekadar beristirahat atau menginap di sekitar kantor tempat saya bekerja jika saya harus lembur, ada kegiatan kantor, atau didera kelelahan luar biasa. 

Secara kebetulan, saya yang saat itu menduduki posisi sebagai editor sekaligus menjadi pemimpin redaksi majalah internal perusahaan serta pengurus di Serikat Pekerja, mendapatkan informasi seputar upaya kepemilikan rumah bagi para karyawan. Tentu saja hal ini memberikan peluang bagi saya dan rekan-rekan sesama karyawan yang lain untuk memiliki rumah. 

Berhubung serikat karyawan dan perusahaan membantu dalam proses ini, maka tentu saja prosesnya pun terasa semakin mudah. Setelah briefing yang dilakukan oleh pihak developer dan bank pemberi kredit mengenai tata cara atau prosedur serta persyaratan yang harus kami penuhi, kami mulai mengajukan proposal dan menjalani cicilan KPR perumahan bersubsidi dengan masa kredit selama 15 tahun, dimulai tahun 2007 hingga tahun 2022. 

Beberapa syarat yang harus kami penuhi untuk mendapatkan KPR subsidi dari pemerintah saat itu (sebenarnya tidak terlalu banyak berubah pada saat ini) antara lain:

  • WNI minimal usia 21 tahun atau sudah menikah, maksimal 65 tahun pada saat jatuh tempo kredit.
  • Maksimal penghasilan: 
  • Tidak kawin Rp6.000.000
  • Kawin Rp8.000.000
  • Khusus Papua dan Papua Barat:
  • Tidak kawin Rp7.000.000
  • Kawin Rp10.000.000
  • Pemohon dan pasangan tidak memiliki rumah
  • Belum pernah menerima subsidi perumahan dari pemerintah
  • Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), dan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi.
  • NIK terdaftar di Dukcapil

Saya yang ketika memulai KPR tersebut masih lajang merasa sangat bersyukur karena pada akhirnya impian memiliki rumah bisa tercapai. Selain memberikan tempat yang relatif nyaman sebagai tempat tinggal, saya pun sering mengajak ibu untuk berlibur di rumah saya, kebetulan lokasinya sangat sejuk dan cocok sebagai tempat liburan. 

Memang lokasinya relatif jauh dari perkotaan, tetapi hal tersebut justru sangat saya syukuri karena suasananya tenang dan jauh dari kebisingan. Betapa bahagia menyaksikan ibu saya bangga dengan pencapaian tersebut serta merasa betah dan menikmati tinggal bersama saya di rumah yang kami sebut vila itu. Di rumah ini pula saya kemudian menjalani hidup berumah tangga serta memiliki buah hati.

Anak-anak belajar di rumah mungil kami. (Foto: dok. pri)

Bisakah Generasi Milenial Memiliki Rumah? How to Buy Their Own House?

Sebagai komposisi terbesar dalam masyarakat, generasi milenial yang sebagian besar sulit memiliki rumah tentu menjadi perhatian khusus, terutama dari pemerintah. Beberapa program telah dibuat oleh pemerintah dan terdapat APBN yang menganggarkan alokasi khusus untuk KPR demi membantu masyarakat dalam upaya memiliki rumah. Program tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.

 1.      Program Satu Juta Rumah

Kementerian PUPR menyediakan bantuan rumah layak huni serta prasarana, sarana, dan utilitas umum bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Hingga 31 Desember 2021, tercatat capaian rumah sebanyak 1.105.707 unit (826.500 unit MBR dan 279.207 unit non-MBR).


Program satu juta rumah untuk kebaikan bersama (Foto: kemenpupr)


2.     Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP)

Skema pembiayaan KPR yang diberikan pemerintah kepada MBR bekerja sama dengan perbankan di tanah air. Subsidi yang diberikan pemerintah melalui FLPP dialokasikan sebesar Rp19,1 triliun pada tahun 2022.

 

3.     Program Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM)

Skema subsidi pemerintah yang diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam rangka pemenuhan sebagian/seluruh uang muka perolehan rumah.

 

4.     Program Kredit Kepemilikan Rumah Subsidi Selisih Bunga (KPR SSB)

Kredit kepemilikan rumah yang diterbitkan oleh bank pelaksana secara konvensional. Program ini membuat masyarakat bisa mendapatkan pengurangan suku bunga melalui Subsisdi Bunga Kredit Perumahan. Perbankan yang melaksanakan program ini biasanya ditunjuk oleh pemerintah.

 

5.     Program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT)

Bantuan pemerintah yang diberikan kepada MBR  yang telah memiliki tabungan dalam rangka pemenuhan sebagian uang muka untuk perolehan perumahan. Laman resmi Kementerian PUPR menerangkan bahwa BP2BT hanya diberikan satu kali untuk pembayaran uang muka atas pembelian rumah MBR. 

Setelah mengetahui program-program tersebut, tentu impian untuk memiliki rumah bagi kaum milenial bukan lagi hal yang mustahil. Dengan pengelolaan keuangan atau manajemen finansial yang baik dan memiliki informasi terkait upaya pengajuan kredit kepemilikan rumah (KPR), tentu rumah yang diidam-idamkan sedikit demi sedikit bisa dicapai. 

Berdasarkan paparan mengenai program yang dibuat pemerintah di atas serta belajar dari pengalaman saya yang sudah ceritakan sebelumnya, tentu saja generasi milenial juga bisa memiliki rumah yang mereka inginkan. Apalagi saat ini sudah ada PT Sarana Multigriya Finansial (Persero), sebuah perusahaan BUMN yang bisa membantu upaya tersebut. 

Apa sih PT SMF dan @inveseries itu? Untuk memudahkan pemahaman, hubungan antara PT SMF dengan @inveseries itu sendiri berawal ketika Kementerian Keuangan RI melahirkan sebuah BUMN bernama SMF. Perseroan ini memiliki misi spesial (special mission vehicle) menyediakan perumahan yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. 

PT SMF juga memiliki produk, yaitu EBA yang fungsinya membantu perbankan penyedia KPR agar  terhindar dari risiko kehabisan dana (maturity missmatch) dan diritelkan menjadi EBA Ritel. 

Selanjutnya, IG @inveseries dilahirkan dengan tujuan untuk mengedukasi tentang EBA Ritel dan literasi finansial atau investasi. PT SMF juga menggandeng @bion'sofficial milik @bnisecuritas46 sebagai kolega untuk tempat transaksi Eba Ritel tersebut.

PT SMF ini fokus dalam membangun dan mengembangkan pasar pembiayaan sekunder perumahan dengan memfasilitasi penyaluran dana dari pasar modal ke sektor perumahan dalam rangka mendorong pemilikan rumah yang terjangkau untuk setiap keluarga Indonesia. 

Perwujudkan komitmen dari PT SMF dijalankan melalui kegiatan sekuritisasi, penerbitan surat utang serta penyaluran pinjaman kepada bank penyalur KPR sehingga dapat meningkatkan volume penerbitan KPR, terutama untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Untuk mengetahui lebih lanjut, langsung saja mengunjungi PT SMF dengan mengklik link di atas.

Tips buat Kaum Milenial Agar Dapat Membeli Rumah

Disarikan dari m.bisnis.com, ada beberapa tips yang perlu dicoba oleh kaum milenial yang ingin mengatur strategi untuk membeli rumah. Tips tersebut membutuhkan upaya dan kesungguhan sehingga rumah yang menjadi impian dapat diperoleh.


 1.  Mengecek Kemampuan Finansial


Pemeriksaan kondisi finansial sangat krusial. (Foto: pexels/Karolina Grabowska)

Kaum milenial perlu menyusun neraca keuangan yang meliputi pemasukan dan pengeluaran serta menentukan skala prioritas di antara berbagai kebutuhan dengan mengukur kemampuan diri sehingga kebutuhan-kebutuhan yang paling penting tidak terabaikan.


2.  Membuat Anggaran

Kaum milenial jangan ragu untuk melakukan riset dan mempelajari cara-cara pembayaran rumah yang memungkinkan untuk dilakukan selain dengan metode pembayaran secara tunai, misalnya KPR, kredit developer, atau metode lain. Anggaran yang pasti, target waktu yang definitif, dan angka yang jelas juga perlu dibuat agar rencana keuangan tersebut lebih realistis dan dapat mengumpulkan uang. 

3.  Menentukan Prioritas

Kaum milenial perlu membuat prioritas agar bisa fokus pada satu hal. Misalnya, ketika berencana mengambil KPR, maka fokus utamanya adalah memenuhi DP lebih dahulu dengan memperhitungkan kemampuan finansial masing-masing. 

4.  Menanamkan Investasi

Investasi merupakan hal yang penting dan perlu dipertimbangkan dalam kehidupn saat ini. Investasi bisa membantu mengembangkan aset untuk menghadapi inflasi. Untuk DP rumah misalnya, kita bisa menyisihkan 30% gaji ke instrumen investasi yang sesuai. Kaum milenial bisa mempelajari hal-hal terkait investasi yang perlu diketahui tersebut melalui IG @inveseries dan @ptsmfpersero

Seiring waktu, dengan konsistensi maka anggaran untuk DP rumah akan bisa terpenuhi sedikit demi sedikit. Yang penting, bijaklah memilih investasi yang produktif, jangan tergiur investasi menggiurkan padahal bodong dan akhirnya merugikan.

 

5.  Menjalankan Strategi dengan Disiplin

Hal inilah yang mungkin sering kali sulit untuk dilakukan oleh siapa pun, disiplin! Penerapan rencana keuangan yang detail dan komprehensif secara disiplin sangatlah penting. Contohnya, menjaga besaran cicilan di bawah 30% dari gaji rutin menjadi sangat krusial ketika kita mengambil skema KPR. Besaran 30% ini merupakan angka aman karena hal ini sudah termasuk semua cicilan utang yang kita miliki

Kita harus fokus dan konsisten dalam rencana ini lebih dulu. Jika kita menambahan utang lain, maka hal itu hanya akan membuat beban kita semakin berat. Lebih banyak uang yang disisihkan untuk menabung atau investasi akan membuat rencana tersebut semakin lancar. Komitmen disiplin jangka panjang inilah yang sangat diperlukan agar kepemilikan rumah bisa tercapai. 

Perumahan FLPP hadir sebagai solusi punya rumah yang mudah. (Foto: ppdpp.iid)

Nah, dengan melakukan tips dan trik sebagaimana di atas, maka bisakah generasi milenial memiliki rumah? Jawabannya tentu saja bisa. Tak ada salahnya untuk sesekali menikmati gawai baru, liburan ke tempat-tempat yang seru, mengikuti gaya fashion yang keren, atau hang out bersama teman untuk sekadar refreshing

Namun, tentu kebutuhan akan tempat tinggal dan berinvestasi dimasukkan pula dalam prioritas utama agar bisa mempersiapkan masa depan yang aman dan lebih cuan. Masih bingung mau ambil investasi seperti apa? Langsung saja kepoin https://www.smf-indonesia.co.id/ untuk mendapatkan inspirasi yang sesuai kebutuhan.

Kamu pilih Belanja Online (daring) di e-commerce atau langsung ke toko? Ini adalah pertanyaan yang memiliki jawaban bersifat relatif karena bergantung pada banyak faktor. Ketika akses terhadap jaringan internet atau Wifi Rumah tidak ada kendala, cuaca kurang bersahabat, saldo e-wallet mencukupi, sedang membutuhkan barang yang spesifik, tokonya sulit ditemukan di sekitar tempat tinggal, atau sekadar kondisi badan sedang mager (malas gerak) dan membutuhkan istirahat, maka belanja online atau daring adalah pilihan yang layak diambil. Akan tetapi, ketika yang terjadi adalah hal sebaliknya, maka berbelanja ala konvensional atau secara offline (luring) pun tak ada salahnya. Masing-masing memang memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu dipertimbangkan. 

Belanja online lebih menguntungkan. (Gambar: pixabay)

Gen Millennial dan Gen Z; Generasi yang Lengket dengan Internet 

Berbicara mengenai penggunaan teknologi digital tidak terlepas dari native users. Saat ini, generasi Millennial dan Gen Z yang lahir di masa teknologi ini mulai diperkenalkan menjadi generasi yang paling mendominasi di Indonesia. Generasi ini juga merupakan generasi yang paling banyak menggunakan internet dalam berbagai aktivitas. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2017, pengguna internet di Indonesia didominasi oleh generasi Millennial, yaitu sebanyak 74,23 persen, sedangkan Generasi Z sebanyak 75,50 persen. 

Kedua generasi yang paling banyak menghabiskan waktunya untuk berinternet ini merupakan generasi yang menyukai kepraktisan dan hal-hal instan dalam segala hal, termasuk dalam berbelanja. Belanja Online atau daring melalui e-commerce dianggap menjadi salah satu solusi dan gaya hidup yang sangat memudahkan bagi generasi ini, terutama ketika pandemi yang berlangsung sejak awal tahun 2020 melanda dunia. Akan tetapi, apakah belanja online atau daring melalui e-commerce memang benar-benar menyenangkan dan memuaskan? Hal ini relatif dan tergantung pada pengalaman masing-masing individu. 


Pandemi dan Internet; Solusi di Sela-sela Kondisi Ruwet 

Loncatan jumlah pengguna internet terjadi saat pandemi terjadi di awal tahun 2020. Kami sekeluarga menjalani isolasi mandiri (isoman) di rumah selama hampir sebulan ketika pandemi mengalami puncaknya sekitar awal tahun 2021. Selama isoman tersebut dilakukan, satu hal yang pasti adalah kami menjadi praktis terkurung di rumah dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. Hampir seluruh aktivitas yang berhubungan dengan dunia luar, seperti pekerjaan, sekolah, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hingga menjalani pengobatan, kami lakukan di rumah dengan mengandalkan internet. Dukungan internet tersebut kami syukuri karena benar-benar menjadi berkah yang sangat membantu dan memudahkan dalam proses penyembuhan kami sekeluarga dari penyakit yang rasanya luar biasa itu.

Internet membuat isoman tak begitu menyiksa. (Dok pri)

Selama hampir dua tahun, kami benar-benar merasakan bahwa meski dampak pandemi begitu dahsyat, tetapi keberadaan internet sudah menjadi salah satu jalan keluar yang memudahkan kehidupan masyarakat dunia. Peningkatan jumlah pengguna wifi rumah (broadband internet) sangat cepat. Mulai dari pemasangan IndiHome sebagai Wifi Rumah, hingga penggunaan aplikasi konferensi massal mulai dicari-cari pelanggan. Semua urusan dari pekerjaan, sekolah jarak jauh, dan lain sebagainya teratasi dengan jaringan internet. Begitu juga belanja online.

Akses ke platform Belanja Online semakin digemari (meski terpaksa). Warga berbondong-bondongmembeli makanan atau minuman, pakaian, sepatu, perabot rumah tangga, gadget, buku, peralatan elektronik, hingga produk-produk perawatan tubuh dan kecantikan, produk bayi, bahkan hingga makanan hewan secara daring. Semua bisa terpenuhi hanya dengan menjentikkan jari-jemari di gawai masing-masing. 

Alasan Memilih Belanja Online (Daring) Ketimbang Offline (Luring) 

Kini, ketika pandemi sudah mulai mereda, ketergantungan terhadap akses internet tampaknya tidak berkurang, bahkan kami sekeluarga merasa terjadi peningkatan yang signifikan. Pengalaman berbelanja kami pun kini tidak terbatas lagi pada konsumsi kebutuhan sehari-hari, tetapi sudah merambah hingga kebutuhan untuk pendukung kenyamanan dan mobilitas, seperti pembelian tiket transportasi atau hotel, pembayaran tagihan, entertainment, dan lain-lain. Khusus dalam hal berbelanja, kini kami sekeluarga lebih banyak menggunakan cara Belanja Online ketimbang offline. Kecenderungan ini bukan tanpa alasan. Berikut ini akan saya berikan beberapa perbandingan keduanya sehingga kami lebih sering mengambil jalur daring ketimbang luring.

1. Fleksibilitas Waktu

Fleksibilitas waktu adalah hal yang sangat menguntungkan dalam Belanja Online. Sebagai pelanggan atau konsumen, kita bisa bertransaksi di e-commerce kapan saja. Bahkan banyak toko yang bersedia melayani hampir 24 jam. Beda halnya dengan toko offline yang memiliki batasan waktu buka toko dalam melayani pelanggan. Oleh karena itu, dengan fleksibilitas waktu buka toko online, maka kami pun bisa bertransaksi, bahkan di sela-sela aktivitas pekerjaan atau waktu sempit yang sedang kami hadapi. 

2. Akses dan Kenyamanan

Untuk berbelanja secara daring, kita membutuhkan smartphone dan akses internet yang andal dan lancar. Jurnal.id memaparkan bahwa transaksi pada bisnis online berjalan sangat cepat. Konektivitas internet yang buruk walau dalam jangka waktu yang pendek pun akan berdampak besar. Pemilik toko online bisa rugi hingga jutaan rupiah karena konsumen bisa dengan mudah beralih mencari penjual lain yang mampu melayani lebih cepat. Oleh karena itu, akses Wifi Rumah seperti IndiHome sangat membantu kami untuk melancarkan transaksi belanja online di e-commerce. 

Beda halnya dengan belanja offline yang membutuhkan upaya untuk mendatangi atau mengunjungi toko secara fisik. Dengan demikian, peluang untuk mengalami ketidaknyamanan karena kelelahan, cuaca yang tidak mendukung, tempatnya yang sulit untuk dicapai, atau belum lagi jika tokonya kurang nyaman akibat tampilannya kurang menarik atau minim infrastruktur yang dimiliki, maka hal itu bisa membuat mood atau suasana hati berubah dan berimbas pada pengalaman berbelanja yang kurang memuaskan. 

3. Pembayaran

Sistem pembayaran dalam belanja online sering kali menggunakan sistem non tunai atau cashless. Oleh karena itu, saldo yang ada pada rekening tabungan atau e-wallet harus selalu siap sedia. Sisi yang menguntungkan dalam berbelanja online adalah harga yang dibayar saat transaksi sesuai dengan yang tertera dalam tagihan. Kita tidak perlu khawatir mendapatkan kembalian berupa permen karena toko tidak memiliki uang kembalian sebagaimana sering terjadi pada pembayaran di kasir toko offline yang menggunakan uang tunai, hahaha.

Belanja offline (luring) membutuhkan tempat fisik dan sistem transaksi tunai. (Dok pri)

4. Harga

Berbelanja online lewat e-commerce memiliki harga beragam yang bisa kita pilih sesuai budget yang kita buat. Biasanya, kita bisa menyaring atau melakukan filter harga ketika berbelanja di e-commerce mulai dari harga tertinggi atau terendah. Dengan demikian, kita pun bisa mempertimbangkan dan memilih harga yang reasonable untuk barang yang akan kita beli. 

Saat berbelanja di toko offline, kita sulit untuk memilih karena harga barang sudah dibandrol tanpa ada alternatif pilihan. Dengan demikian, kita harus benar-benar mempertimbangkan dengan matang pembelian tersebut. Jika kurang teliti, maka kita bisa saja terjebak oleh harga barang di toko itu yang tidak setara dengan kualitasnya. 

5. Pilihan Toko dan Barang 

Nah, ini adalah salah satu hal yang paling menyenangkan, terutama bagi kaum hawa dalam berbelanja secara online di e-commerce, baik yang kami sebut si hijau, si oranye, atau si biru. Begitu banyak dan beragam pilihan toko dan barang yang ditampilkan membuat kita betah berlama-lama untuk memilih. Banyaknya tempat atau toko yang menjual suatu produk juga memberi fleksibilitas dalam menentukan ongkos kirim yang akan kita keluarkan. Adapun belanja secara offline tentu memiliki keterbatasan karena tempat yang relatif hanya bisa dijangkau secara fisik dan stok produk yang dimiliki juga terbatas.

Belanja offline (luring) memiliki keterbatasan took dan barang. (Dok pri)

6. Keamanan Bertransaksi 

Belanja online memiliki kemungkinan terjadinya transaksi yang berhasil atau gagal. Kesalahan atau penipuan pun bisa saja dialami jika transaksi dilakukan oleh orang-orang yang berniat jahat. Akan tetapi, beberapa e-commerce kini sudah memiliki sistem untuk mencegah hal semacam ini terjadi dan memberi garansi agar kerugian bisa diminimalisir. Adapun belanja secara offline relatif lebih terjaga keamanannya karena penjual (toko) dan pembeli berada di suatu tempat yang sudah jelas diketahui dan pelanggan bisa langsung melihat serta memilih barang yang akan dibeli. 

7. Jaminan Kepuasan

Kepuasan dalam berbelanja secara online adalah ketika proses transaksi pembelian, pembayaran, pengiriman, hingga barang yang dibeli telah sesuai dan telah sampai di tangan pelanggan. Jika seluruh proses tersebut sukses, maka tingkat kepuasan pelanggan menjadi jaminan bahwa kemungkinan besar akan melakukan belanja secara online kembali. Jaminan tersebut sangat penting karena sistem belanja online memang membutuhkan kepercayaan atau trust yang sangat tinggi. Adapun sistem belanja offline sangat simpel dan meski tetap sama-sama membutuhkan trust, tetapi tingkat kepercayaan yang dibangun sudah terbantu oleh kondisi fisik toko dan barang yang bisa dijangkau dan dilihat secara langsung oleh pelanggan.

8. Promo Pelanggan 

Bentuk-bentuk promo yang ada pada pembelanjaan online amat banyak dan beragam. Hal tersebut disebabkan ketatnya persaingan dan upaya menarik hati pelanggan. Program pemberian diskon khusus, hadiah spesial, potongan atau gratis ongkir (ongkos kirim), atau pemberian cashback sering kali bisa kita dapatkan melalui pembelanjaan online di e-commerce.  Pada toko offline, bentuk promo yang dilakukan tidak sebanyak yang bisa kita dapatkan sebagaimana toko online. 

Belanja Tanpa Ribet dengan Akses Internet Tangguh

Meski kini lebih sering melakukan belanja online, kami masih tetap sesekali melakukan belanja offline. Hal ini kami lakukan ketika memiliki kebutuhan yang sangat mendesak, sekadar ingin refreshing, atau ketika tengah berada di sebuah wilayah yang meyediakan bahan-bahan, terutama makanan yang masih fresh, sulit didapatkan di tempat lain, hanya bisa menggunakan uang tunai, atau sulit jika dilakukan pengiriman dari luar daerah. Sensasi berbelanja secara offline memang memberikan sentuhan dan pengalaman yang berbeda dengan belanja online. 

Seperti contohnya ketika kami membeli sepatu untuk kedua krucil yang kebetulan rusak secara bersamaan. Kami langsung meluncur ke toko dekat pasar kota yang kebetulan tempatnya adem plus pelayanannya pun ramah. Kedua krucil terlihat menikmati proses belanja dan merasa puas dengan pilihan mereka masing-masing. Sepatu yang akhirnya mereka beli pun dengan bangga bisa langsung mereka kenakan. Ini hanya salah satu contoh bahwa belanja di toko offline pun dalam beberapa hal masih bisa kami pertahankan. 

Akan tetapi, tempat tinggal kami yang berada di kota kecil memang tidak selalu bisa memenuhi hal-hal tertentu yang kami butuhkan. Alasan itulah yang menyebabkan kami tetap lebih memilih belanja online ketimbang offline. Saking seringnya berbelanja online, Mas Kurir yang mengantarkan paket ke rumah sudah mengenal dengan baik keluarga kami. Pengalaman belanja online bagi kami terasa sangat memudahkan dan memberi kenyamanan tersendiri, bahkan bagi keluarga kami yang masih membutuhkan proses adaptasi setelah lima tahun berpindah dari kota besar di mana segala macam kebutuhan tadinya mudah terpenuhi. Hal yang berbeda dengan kondisi kota kecil di daerah yang banyak memiliki keterbatasan.

Internet kencang mendukung aktivitas online lancar. (pexels.com)

Salah satu kunci yang sangat penting untuk melancarkan segala macam aktivitas kami saat ini, termasuk belanja online tentu saja adanya akses Internetnya Indonesia yang harus bisa kami andalkan, seperti IndiHome sebagai produk milik Telkom Group. Dengan Wifi Rumah yang lancar dan kuat jaringannya, maka keribetan yang sering dialami akibat akses internet putus sambung akan dapat dihindari. Kemudahan dan kenyamanan pun bisa kami peroleh sehingga produkivitas dalam hidup pun semakin tinggi. 

Jadi, apakah Anda akan pilih belanja online (daring) atau belanja offline (luring)?