Kain tenun Tembe Nggoli khas Ntobo, Bima. (Sumber: goodnewsfromindonesia.id


ANGIN KERING Nusa Tenggara Barat selalu membawa aroma garam dari lautan dan debu savana di sekitar bukit-bukit tandus. Namun, di Kampung Ntobo, Bima, angin itu juga membawa dengung ritmis yang tak pernah berhenti: tok-tak, tok-tak, tok-tak. Itu adalah suara kayu yang beradu dari alat tenun gedog yang menjadi detak jantung dari 95 persen warganya.


Identitas yang Terselubung Kain

Selama turun-temurun, nyawa Ntobo ada pada setiap helai kain Tembe Nggoli. Ibu-ibu, gadis remaja, bahkan anak-anak yang baru belajar memintal, semua hidup dari untaian benang. Mereka adalah maestro tenun tanpa panggung. Mereka adalah penenun yang kerajinannya diakui sebagai warisan, tetapi kampungnya sendiri tak pernah dianggap sebagai ‘Kampung Tenun’. Identitas mereka tersembunyi di balik keindahan motif bunga samobo dan bunga satoko yang mereka ciptakan.


Di antara ribuan helai benang lungsin yang membujur dan pakan yang melintang pada hasil tenunan itu, ada seorang ibu lulusan SMA bermata tajam dengan tiga anaknya yang melangkah dengan gesit untuk mencoba mengubah takdir membuka jati diri kampung kelahirannya. Namanya Yuyun Ahdiyanti. Keresahan yang menjalar di dada Yuyun bukanlah tentang kesulitan menenun, mereka adalah para maestro. Keresahan itu adalah tentang ketiadaan pengakuan pada keahlian dan nama mereka.


Sejak kecil ia telah menjadi saksi mata kerja keras para perempuan Ntobo, tenaga mereka yang terkuras, waktu mereka yang menipis, dan keahlian mereka dalam menghasilkan kain tenun bernilai seni tinggi, tetapi semua itu dihargai rendah di pasar yang tak terlihat dan terjangkau oleh mereka.


Yuyun Ahdiyanti memamerkan sehelai kain tenun di galerinya. (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)


Kegelisahan Yuyun pada akhirnya melahirkan sebuah tujuan sederhana nan ambisius: menaikkan martabat helai demi helai tenun Ntobo pada suatu saat.


Gerakan dari Media Sosial ke Modal Mikro

Tahun 2015 bagi Ntobo adalah tahun yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya yang penuh ketekunan dan kurangnya pengakuan. Akses modal adalah hantu yang menakutkan dan pemasaran adalah jurang tak terjangkau. Para penenun hanya bisa menunggu pengepul datang, lalu menerima harga yang sering kali seadanya.


Yuyun, dengan segala keterbatasan ijazah dan dana, memutuskan untuk menggunakan senjata yang ia miliki: ponsel pintar dan internet. Ia memulai dengan memotret kain-kain tenun hasil karya keluarganya yang sarat makna, mulai dari motif bunga kakando yang mengingatkan pada keagungan Tuhan hingga bunga aruna yang menyimpan refleksi 99 sifat-Nya. Ia mengunggah foto-foto itu di media sosial pribadinya, terutama Facebook dengan nama Yuyun Kaen Tenun Bima.


Mungkin inilah yang disebut moment of truth. Hal yang terjadi setelah Yuyun mengunggah kain-kain tenun nan artistik itu adalah ledakan tak terduga. Unggahan itu viral. Pesanan membanjiri kotak masuknya. Dalam sekejap, kain Ntobo, yang selama ini hanya berputar di Bima, menarik perhatian pembeli dari luar daerah. Yuyun menyadari, ini bukan hanya peluang bisnis. Lebih dari itu, ini adalah sebuah pesan dan tanggung jawab.


Yuyun bersama para ibu penenun kain. (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)


Ia tak ingin menikmati rezeki itu sendirian. Bagi Yuyun, tenun adalah milik mereka bersama dan identitas kolektif tempat kelahirannya. Inilah momentum untuk mewujudkan agenda yang rencanakan; ia menyebutnya Srikandi Penenun Asa Kampung Ntobo.


Dari dapur rumahnya yang sederhana, Yuyun mendirikan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang ia beri nama UKM Dina. Dina adalah wadah, bukan sekadar toko. Yuyun menggunakan modal awal yang ia dapat untuk memberi pinjaman modal mikro kepada penenun di sekitarnya. Ia tak hanya memberi bahan baku, tetapi juga desain yang lebih segar. Hal yang terpenting adalah ia mengambil alih urusan pemasaran yang paling sulit dijangkau para ibu penenun.


UKM Dina menjadi jembatan antara tangan-tangan terampil di Ntobo dengan pasar luas. Setiap pesanan besar yang diterima Yuyun, ia sebarkan ke ratusan penenun. Ia memastikan bahwa tenun Bima yang dipasarkannya tidak hanya indah, tetapi juga dipahami sebagai warisan budaya di mana setiap helai mencerminkan nilai luhur, doa, dan jati diri masyarakatnya.


Mengukur Sukses dalam Untaian Benang dan Generasi Muda

Dampak dari gerakan Yuyun Ahdiyanti melampaui hitungan rupiah, ia mengubah jiwa sebuah kampung. Kampung Ntobo yang tadinya "tidak punya nama" di peta tenun Indonesia, kini mulai didatangi pelancong, baik domestik maupun mancanegara.


Secara bisnis, angka-angka berbicara sangat lantang. Dari omset yang awalnya tak terbayangkan, kini UKM Dina mencatat perputaran uang berkisar antara Rp100 juta hingga Rp300 juta per bulan. Yuyun berhasil memberdayakan setidaknya 200 penenun dan 15 penjahit utama, sebuah angka yang terus bertambah. Di Facebook, akun UKM Dina menjadi influencer lokal dengan lebih dari 11 ribu pengikut, sebuah bukti nyata bahwa kearifan lokal bisa berbicara di panggung digital.


Beberapa contoh kain tenun yang dipromosikan Yuyun di media sosialnya. (Sumber: Facebook Yuyun Kaen Tenun Bima)


Namun, bagi Yuyun, manfaat yang paling berharga adalah perubahan sosial yang ia lihat di mata para penenun itu.


Jumlah penenun binaan saya sekarang sudah 300-an lebih. Padahal awalnya hanya 20 orang, ungkap Yuyun dengan nada bangga. Yang paling membahagiakan, generasi muda sekarang ikut. Bukan sekadar bantu orang tua. Bahkan ada yang masih kelas 5 SD, lho, sudah mahir menenun.


Tembe Nggoli, yang dahulu hanya ditekuni oleh kalangan ibu-ibu, kini menjadi pekerjaan yang menjanjikan bagi remaja SMP dan SMA. Pekerjaan menenun tidak lagi dipandang sebagai rutinitas terpaksa, melainkan sebagai sumber pendapatan yang mampu bersaing.


Yuyun menerapkan sistem bagi hasil yang adil di mana para penenun dapat memperoleh keuntungan lebih dari 60 persen per kain. Bahkan kain paling eksklusif seperti Songket Geliter atau Gelendo Geliter yang bernilai Rp750 ribu, penenun bisa membawa pulang Rp400 ribu. Jika seorang ibu rumah tangga fokus dan mampu membuat 5 lembar kain dalam sebulan, ia bisa meraup pendapatan hingga Rp2 juta, sebuah angka yang signifikan untuk taraf hidup di pedesaan.


Galeri Kecil, Visi Besar

Di tengah kesibukan sebagai seorang ibu tiga anak yang merupakan sebuah peran yang menuntut energi tanpa batas, Yuyun tetap teguh mengembangkan inovasi. Ia sadar bahwa untuk terus memberikan dampak keberlanjutan, warisan harus bertemu dengan modernitas.


Kain-kain tenun artistik berkualitas hasil karya penenun Ntobo di galeri Yuyun. (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)


Pemikiran itu membuatnya memutuskan untuk mendirikan sebuah galeri berukuran 2x6 meter di samping rumahnya. Ruangan sederhana ini bukan sekadar etalase, tetapi menjadi pusat pemberdayaan. Di galeri inilah anak-anak muda dapat mengikuti workshop menenun. Di sini pula Yuyun berkolaborasi dengan akademisi dari berbagai universitas di NTB. Fokus kolaborasi mereka adalah menciptakan zat pewarna alami dan nanopartikel yang lebih tepat digunakan sekaligus ramah lingkungan dan memastikan bahwa tradisi Ntobo tidak merusak alamnya.


Kain Tembe Nggoli yang dihasilkan UKM Dina memiliki ciri khas tersendiri dengan motif-motif alam, seperti kali wori dan mata hara yang dipadukan dengan warna-warna cerah dan kontras, seperti merah, kuning, dan biru yang semuanya diekstrak dari pewarna alami.


Yuyun memahami prosesnya luar dalam. Ia paham bahwa selembar Songket Geliter bisa memakan waktu rata-rata 10 hari, bahkan lebih lama bagi ibu rumah tangga yang juga bertani. Pemahaman yang mendalam ini membuat Yuyun mampu mengelola harapan dan permintaan pasar, dan yang paling penting, menghargai waktu dan kerja keras para penenunnya.


Kain tenun Ntobo Bima dari UKM Dina ikut dipamerkan pada gelaran lomba balap mobil di Mandalika. (Sumber: FB Yuyun Kaen Tenun Bima)


Tak hanya ke Pulau Jawa, Sumatra, atau Sulawesi, produk kain tenun Bima dari UKM Dina juga telah mampu menembus pasar internasional. Kampung Ntobo kini menjadi destinasi wisata live-textile di mana turis datang bukan hanya untuk membeli, tetapi untuk menyaksikan langsung ritme tok-tak, tok-tak yang melahirkan karya seni bercita rasa tinggi.


Apresiasi dan Janji Masa Depan


Yuyun membahas kain tenun Bima bersama Sandiaga Uno. (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)


Kisah Yuyun Ahdiyanti ini adalah pelajaran tentang kekuatan dari rasa gelisah yang melahirkan kreativitas dan keberanian. Berbekal naluri ibu yang ingin melihat anak-anak dan tetangganya hidup sejahtera, mereka bergerak bersama mengubah keterbatasan menjadi pemicu perubahan. Ia membuktikan bahwa ijazah tertinggi bukanlah syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin ekonomi dan pelestari budaya. Butuh seseorang yang ingin mengubah dengan kemampuan kreatif dan kolaboratif sehingga memberikan terus memberikan dampak positif.


Pengorbanannya tak sia-sia. Yuyun telah menerima serangkaian apresiasi nasional, mulai dari Kelompok Pengrajin Teladan, OVOP Bintang 2 hingga UMKM Inspirator. Puncak pengakuan itu datang pada tahun 2024, ketika ia dianugerahi penghargaan bergengsi SATU Indonesia Awards ke-15 di bidang kewirausahaan atas jasanya mempromosikan Kampung Ntobo hingga ke kancah global.


Yuyun Ahdiyanti menjadi salah satu peraih SATU Indonesia Awards tahun 2024. (Sumber: goodnewsfromindonesia.id


Kisah Yuyun juga menjadi bagian dari keistimewaan kainTembe Nggoli itu sendiri yang menurut Kepala Dinas Pariwisata Kota Bima, M. Natsir, memiliki karakter bahan yang unik: hangat saat dingin dan dingin saat panas.


Yuyun Ahdiyanti telah melakukan hal yang sama untuk kampungnya. Dengan ketekunan dan kegigihannya, ia telah menyelimuti Ntobo dengan kehangatan harapan ekonomi yang akan terus menyala di tengah dingin akan minimnya pengakuan. Yuyun bergerak bersama kaum ibu dan generasi muda Ntobo untukterus membawa harapan berupa nama yang semakin menyejukkan mereka yang semakin diakui keberadaannya di tengah teriknya perjuangan mempertahankan kain tradisi mereka.


Senandung benang di Ntobo kini bukan sekadar nada rutinitas, tetapi juga memiliki harmoni irama pengakuan, kemandirian, dan martabat yang telah terukir pada setiap helai kainnya.

 


#APA2025-PLM