“Kalian ini kenapa, sih!?” pekik Intan, lelah dengan persaingan tak kasat mata di hadapannya. Ia mencoba melerai, menarik tangan Kang Miftah dan mendorong bahu Kang Dimas. Namun, kakinya yang bersandal jepit terpeleset di atas genangan air bekas cucian udang dan rebon.
Intan limbung, jatuh tergelincir, dan kakinya terkilir. Pandangan matanya mendadak gelap.
****
Matahari mulai condong ke barat. Aroma terasi yang menyengat dari pabrik-pabrik di sepanjang desa nelayan Tuban selalu menemani kepulangan Mak Rupiyah. Langkah kakinya yang ringkih membawa penat seharian mengolah rebon dan garam. Tubuhnya adalah monumen ketegaran.
Suaminya direnggut badai saat melaut bertahun-tahun lalu. Almarhum meninggalkan Mak Rupiyah seorang diri membesarkan Intan, putri semata wayangnya.
Intan kini sudah mulai beranjak dewasa. Gadis berkerudung itu tengah kuliah semester akhir dan magang di sebuah bank syariah. Parasnya manis, senyumnya laksana embun menyejukkan, tetapi hatinya sering dilanda badai tak kalah hebat.
Dua pemuda berusaha menarik perhatiannya, seperti dua kutub magnet yang sama kuat. Pertama adalah Dimas, seorang mahasiswa cerdas yang baru saja meraih beasiswa penuh S2 ke Jepang. Cita-citanya setinggi Gunung Fuji dan setiap kata-katanya terbingkai masa depan yang cerah dan modern. Ia menjadi simbol kemajuan dan kesempatan bagi Intan untuk keluar dari desanya.
Pemuda kedua adalah Miftah, anak kepala desa yang gagah dan rendah hati. Meski sudah lulus kuliah, Miftah tidak mengejar hidup gemerlap di kota. Ia memilih mengabdikan dirinya di desa. Ia mendedikasikan diri mengurus koperasi dan mengembangkan UMKM lokal, terutama produk terasi di pabrik-pabrik setempat. Ia adalah simbol kerendahan hati dan akar yang kuat pada tanah leluhur.
Dimas memikat Intan dengan menunjukkan foto-foto Tokyo dan menjelaskan konsep lean manufacturing yang dapat diterapkan di pabrik terasi. Sementara Miftah menunjukkan kepribadiannya dengan membantu produksi terasi berjalan lancar atau memastikan stok rebon tak pernah kurang. Intan tahu, memilih salah satunya berarti menanggalkan impian lainnya.
Di sore itulah, ketegangan pecah. Miftah baru selesai mengangkut keranjang berisi rebon fermentasi yang sudah dijemur, sedangkan Dimas sedang mendiskusikan e-commerce dengan pemilik pabrik. Sebuah kesalahpahaman kecil tentang harga terasi yang disarankan Miftah menjadi pemicunya.
Dimas menganggap Miftah terlalu konservatif dalam penetapan harga, sementara Miftah merasa Dimas terlalu ambisius dan mengabaikan kesejahteraan buruh. Perselisihan panas itu menarik perhatian Intan yang kebetulan lewat sepulang dari rewang di rumah kerabatnya.
Intan letih menyaksikan pertikaian di antara mereka. Ia sekuat tenaga memisahkannya. Namun, kakinya terpeleset di genangan air berbau amis, menjadikannya terhuyung, lalu jatuh dengan kaki terkilir.
****
Intan duduk bersandar di ranjang kayu rumahnya yang sederhana. Kakinya berdenyut ngilu. Wajah Mak Rupiyah, yang baru pulang, kusut penuh kekhawatiran. Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu rumah mereka yang reyot.
Di ambang pintu, berdiri Dimas dan ayahnya, saudagar kaya di desanya. Setelah mereka, muncul pula Miftah dan ayahnya yang tampak sederhana, tetapi memancarkan wibawa.
“Maafkan anak saya, Bu Rupiyah, Nak Intan. Seharusnya Dimas tidak membuat kegaduhan,” ujar Pak Trubus sambil meletakkan sekeranjang buah-buahan di meja.
“Intan, kamu tidak apa-apa? Kang Miftah sudah kami marahi habis-habisan karena emosi di tempat umum,” Pak Kades Rohim menimpali dengan suara berat yang menenangkan sambil meletakkan bungkusan berisi camilan dan rempah-rempah untuk pemulihan.
Suasana hening, diisi oleh harum minyak tawon yang menyengat dan aroma terasi yang samar-samar. Kedua pemuda itu kemudian memberikan angpau, sejumlah uang rupiah, sebagai bentuk perhatian dan bantuan. Bagi keluarga Mak Rupiyah yang hidup serba pas-pasan, uang itu tentu sangat berarti.
Intan memperhatikan kedua pemuda itu dan cara mereka menyerahkan angpau. Ia tak melihat pada besar rupiahnya, melainkan pada perlakuan mereka terhadap uang rupiah itu. Ia tertegun lama memandang momen tersebut. Tak pernah sedemikian tertarik hatinya pada momen yang berkaitan dengan cuan. Apakah ia mulai menjadi gadis yang materialistis? Batinnya bergemuruh.
Dimas berjalan maju, penampilannya selalu modis dan kekinian. Ia menyerahkan selembar amplop kepada Mak Rupiyah. “Ini untuk membeli obat dan kebutuhan Intan, Mak. Mohon diterima.”
Ketika Mak Rupiyah, yang tak pandai basa-basi itu, membuka amplop, di dalamnya terdapat beberapa lembar uang ratusan ribu. Uang itu memang baru, tetapi terlihat lembarannya dilipat, agak lecek, dan ada yang sobek, seolah-olah baru saja ditarik paksa dari saku celana jins yang sesak. Dimas memasukkannya ke amplop tanpa kesadaran untuk merapikannya. Dimas menganggap uang hanya sebagai alat tukar, sekadar itu saja.
Sesaat setelahnya, sambil tersenyum lembut pada Intan, Miftah mengambil dompet kulitnya yang tampak agak usang. Perlahan ia mengeluarkan beberapa lembar uang. Tidak ada amplop. Ia menyusun uang-uang itu dengan tekun, meluruskan setiap lembaran dengan jari-jarinya, memastikan setiap rupiah itu mulus dan rapi sebelum diserahkan langsung ke tangan Mak Rupiyah.
“Maaf, Mak, nilainya memang tidak seberapa. Tapi ini dari hati kami. Semoga bisa membantu Intan agar cepat pulih,” ucap Miftah dengan tulus.
Mata Intan terpaku pada gerakan tangan Miftah. Perlakuan Miftah pada rupiah, yang merupakan lambang identitas dan keringat rakyat, termasuk ibunya, sangatlah hati-hati dan penuh penghargaan. Ia tidak melipat atau membuat uang itu berkerut, tidak meremehkannya.
Di mata Intan, cara memperlakukan lembaran rupiah, mencerminkan bagaimana seseorang memperlakukan hal-hal lain yang bernilai dalam kehidupan: waktu, janji, kerja keras, dan hati. Jika ia tulus menghargai rupiah sebagai simbol kerja keras, ia pasti akan menghargai dan menyayangi siapa pun, termasuk istrinya, dengan ketulusan yang sama.
Kang Dimas, dengan visi globalnya, mungkin melihat rupiah hanya sebagai mata uang yang akan segera ia tukar dengan Yen. Ia fokus pada hal-hal besar, tapi mengabaikan detail-detail kecil yang berharga.
Kang Miftah, yang sehari-hari berkutat dengan nasib nelayan dan buruh, menganggap setiap lembar rupiah adalah hasil jerih payah yang harus dihormati. Ia membumi dan peduli.
****
Setelah para tamu pulang, Intan menarik napas panjang. Kakinya masih nyeri, tetapi hatinya terasa jernih. Ia memejamkan mata dan membayangkan dua masa depan: satu dihiasi metropolitan Tokyo dengan sedikit lipatan di hati, dan yang lainnya dihiasi aroma terasi dan kesibukan desa dengan jiwa yang utuh dan terawat.
Pergi ke Jepang sungguh mimpi yang indah, tetapi kesantunan dan penghargaan adalah fondasi rumah tangga yang nyata. Intan memilih pria yang memiliki akar kuat di desa dan hati yang legawa untuk menghargai setiap detail riak-riak kehidupan. Ia yakin, pilihan itu akan membawanya pada kedamaian sejati.
Intan memanggil ibunya. “Mak, Intan ingin selalu bersama seseorang yang meski bau terasi, tapi akan menjaga hati Mak dan anak perempuannya tidak pernah remuk.”
Mak Rupiyah menatap Intan. “Apakah kamu sedang memilih masa depanmu, Nak?”
Intan tersenyum sambil menatap uang rupiah yang bertebaran di atas meja.
****