Memilih Pondok Pesantren Tradisional (Salaf) atau Modern

Memilih pondok pesantren bagi anak-anak kita memang bukan perkara yang sederhana. Banyak hal yang harus dipersiapkan terkait dengan pondok yang sesuai dengan nilai (value) dan kemampuan finansial yang dimiliki, termasuk profil pondok tersebut yang tepercaya. Tentu saja pengetahuan dan informasi yang cukup perlu kita miliki agar sang buah hati dapat mondok dengan nyaman dan kita sebagai orangtua merasa aman menitipkan anak di suatu pondok pesantren.  




Keinginan Sang Anak VS Keinginan Orangtua? Dialog Solusinya!


Saya teringat ketika si sulung menginjak kelas 6 MI/SD, ia mengemukakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikannya ke pesantren. “Aku pengen mondok di pesantren salaf, Yah,” demikian ujarnya kala itu yang membuat kami cukup terkejut. Tentu saja kami sedikit mengernyitkan dahi karena secara akademik, si sulung termasuk berprestasi dan berpeluang masuk ke sekolah favorit di daerah kami. Bahkan salah satu kepala sekolah SMPN unggulan di kawasan kota menawarkan si sulung untuk masuk di sekolah yang dipimpinnya karena melihat prestasinya. Melanjutkan sekolah di SMP, apalagi sekolah negeri favorit adalah impian hampir semua siswa lulusan SD/MI di sini, bahkan termasuk orangtuanya.


Akan tetapi, tentu saja kami sebagai orangtua tidak ingin memaksakan kehendak kepada anak-anak kami. Selama proses mengobrol dan berdialog dengannya, terlihat kesungguhan dalam pilihannya. Ia mengemukakan alasan ingin belajar hidup mandiri melalui tinggal di pondok pesantren dan mendalami ilmu-ilmu agama. 


Rupanya ia terinspirasi oleh ayahnya yang sering menceritakan pengalamannya saat dulu tinggal di pondok pesantren di daerah Jombang meski hanya sebentar. Ia pun terinspirasi oleh mendiang Mbah Kiai Maimoen Zubair, pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Rembang, Jawa Tengah, yang kezuhudan dan keilmuannya diakui hingga ke mancanegara.


Perjalanan Mencari Pondok, Meniti Jalan Mencari Jalur Ilmu


Setelah mengungkapkan keinginannya, tentu saja kami segera mencari informasi yang berkaitan dengan pondok pesantren yang bakal menjadi tempat si sulung melanjutkan studinya. Saat itu, hal yang pertama kali menjadi pertimbangan adalah lokasi atau tempat yang tidak terlalu jauh atau bisa dijangkau dengan mudah dari tempat tinggal kami. Pertimbangan kedua, tentu saja bentuk pendidikan pada pondok pesantren tersebut, pesantren salaf atau pesantren modern. 


Hal ketiga tentu saja berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan selama pendidikan di pondok pesantren. Keempat, pertimbangan yang tak kalah penting adalah profil pondok pesantren, termasuk para pengasuh dan pengajarnya. Hal terakhir memang sangat penting karena belakangan ini banyak berita miring dari beberapa pondok yang akhirnya mempengaruhi nama baik suatu pondok pesantren.


Berikut ini akan saya jabarkan hal-hal tersebut berdasarkan pengalaman kami yang mungin bisa menjadi inspirasi bagi para pembaca dalam mencari pondok pesantren yang sesuai dengan keinginan.


Beda Karakter Beda Pondok 


Berhubung kami tinggal di Lamongan, saat pertama kali kami survei, lokasi yang akan menjadi pilihan mondok bagi si sulung adalah Pondok Pesantren Langitan di kawasan perbatasan Lamongan dan Tuban. Pondok ini menjadi tempat pertama karena akses jalan dan kendaraan cukup relatif dekat dan mudah, baik dengan kendaraan pribadi atau pun kendaraan umum. Bus-bus menuju Semarang atau ke Jakarta via pantura akan melintasi jalan menuju pondok pesantren ini.


Namun, sejak awal si sulung memang berkeras hati ingin masuk pondok Mbah Maimoen, maka kami pun melanjutkan dengan survei ke Rembang, JawaTengah. Akses menuju pondok ini memang hampir sama dengan ke Pondok Langitan, tetapi hanya sedikit lebih jauh dari Lamongan. Kemudahan akses ini menjadi pertimbangan jika kami ingin sambang (mengunjungi) ketika anak kami telah menimba ilmu di tempat tersebut.


Survei terakhir yang kami lakukan adalah mencari pondok pesantren pengganti ke Jombang, sebulan setelah anak kami mondok di Rembang. Suasana pondok yang relatif terlalu ramai karena santri yang berjumlah ribuan membuat si sulung mengalami culture shock lumayan berat. Kami tidak sampai hati melihat kondisinya tersebut yang membuatnya meminta mundur dan pindah tempat mondok sehingga kami harus mencari alternatif pengganti meski merasa berat hati. 


Kami memutuskan untuk survei pondok di Jombang yang terkenal sebagai kota santri. Awalnya, hal ini agak membingungkan karena sedemikian banyaknya pondok pesantren yang berada di daerah ini. Belajar dari pengalaman, kami memang tidak mencari pondok pesantren yang memiliki terlalu banyak santri seperti di kawasan Tambakberas atau Tebu Ireng, tetapi mencari pondok yang cenderung berukuran sedang agar si sulung dapat lebih beradaptasi dengan mudah.


Kami menemukan pondok pesantren di kawasan Denanyar (tempat ayah si sulung dulu mondok) dan Peterongan. Sayangnya, pengelola di tempat pertama sudah tidak sama seperti ketika ayahnya mondok sehingga kami langsung melanjutkan survei ke Peterongan yang juga akhirnya kami lewatkan karena ternyata juga memiliki santri yang jumlahnya mencapai ribuan. Kami khawatir hal yang sama seperti pondok di Rembang akan terulang kembali.


Mungkin takdir yang mempertemukan kami dengan pondok yang terakhir kami survei dan kini menjadi tempat si Sulung mondok. Kami justru mendapatkan informasi ini ketika kami mengikuti lomba blog yang diselenggarakan Astra Indonesia. Pondok Pesantren Fathul Ulum di kawasan Diwek, satu kecamatan dengan Pondok Pesantren Tebu Ireng, adalah salah satu pondok yang pernah mendapatkan apresiasi Satu Indonesia Award, bahkan kini menjadi salah satu pondok yang mendapat bantuan dari Bank Indonesia. 


Pesantren yang dikenal dengan pesantren dan santripreneur ini menarik perhatian kami karena lokasinya cukup mudah dijangkau dan memiliki suasana lebih adem atau sejuk ketimbang pondok lainnya di Jombang karena dekat dengan kaki Gunung Wonosalam. Pondok pesantren yang relatif tidak terlalu besar dan masih memiliki santri tidak terlalu banyak kami rasakan cocok bagi si sulung. Alhamdulillah, hingga saat ini, si Sulung merasa betah dan kerasan menuntut ilmu di pondok pesantren ini. Profil pondok yang diasuh oleh Kiai Habibul Amin ini insya Allah akan saya ulas pada postingan terpisah.


Berbeda dengan kakaknya, si bungsu sejak awal memutuskan pilihannya pada pondok pesantren modern yang menggabungkan sistem pendidikan pondok dan sekolah formal. Kini ia menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang. Di sana terdapat sekitar 51 pondok (asrama) dan 12 unit sekolah mulai jenjang ibtidaiyah, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK.


Mondok Bukan Sekadar Sekolah, Miniatur Sekolah Kehidupan


Berdasarkan pengalaman kami, mondok bukan sebuah keputusan yang sederhana. Ada sebuah visi dan misi yang harus dimiliki, baik oleh orangtua maupun anak yang ingin mondok di pesantren. Sering kali saya menemukan stereotipe bahwa orangtua yang mau memasukkan anaknya ke pesantren dilandasi oleh pertimbangan bahwa anaknya sudah sulit ditangani (nakal), anaknya memiliki tingkat kecerdasan yang rendah, atau bahkan hanya mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.


Namun, belakangan ini kesadaran orangtua untuk memasukkan anaknya ke pondok esantren telah lepas dari stereotipe semacam itu. Banyak dari mereka justru memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, prestasi yang cemerlang, memiliki karakter yang santun dan mandiri serta kalangan menengah ke atas.


Memang banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk memasukkan anak ke pondok pesantren. Selain untuk mengenal lingkungan pondok, juga mengetahui sistem pengajaran yang dimiliki agar sesuai dengan visi dan misi yang dimiliki oleh masing-masing keluarga.


Berikut ini beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan ketika anak dan orangtua mulai menyepakati bahwa sang buah hati akan melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren.


Bentuk Pendidikan Pondok Pesantren


Bentuk pendidikan di pondok pesantren salaf dan pondok pesantren modern sering sulit dipahami oleh sebagian orang yang awam dengan dunia pesantren, termasuk saya pada awal mengetahui si sulung ingin masuk pesantren. Saya membayangkan bahwa pesantren itu seperti sebuah tempat mengaji di surau/masjid dengan rumah di dekatnya yang menjadi tempat tinggalnya. Bayangan itu mungkin tidak sepenuhnya keliru, tetapi juga tidak seluruh pesantren berbentuk demikian.


Jika ingin memasukkan anak ke pesantren, kita perlu mengetahui dengan detail bentuk pendidikan yang dimiliki oleh pondok tersebut. Secara umum, ada dua macam bentuk pesantren yang ada dalam sistem pendidikan pesantren di Indonesia dan sudah diakui oleh kementerian agama dan kementerian pendidikan nasional, yaitu pesantren salaf (konvensional) dan pesantren modern. 


Pesantren salaf (tradisional/konvensional) adalah pesantren yang sepenuhnya mengadopsi sistem pembelajaran agama murni dan tidak bercampur dengan sistem pendidikan umum/formal. Mereka secara khusus mempelajari ilmu agama, seperti mengajarkan kitab-kitab klasik/kitab kuning mengenai fikih, Al-Qur’an, tafsir, hadis, akhlak/adab, tarikh, dll serta ilmu alat (bahasa dan tata bahasa Arab). 


Mereka mempelajari kitab dengan metode sorogan, wetonan, hafalan, dan muzakarah. Polanya masih terpusat pada kiai dan takzim pada keluarga kiai (ndalem) serta para ustaz seniornya. Kitab-kitab yang dipelajari kebanyakan masih bertulisan Arab, baik berbahasa Arab maupun pegon (Arab Jawa). Lulusan pesantren salaf disiapkan untuk menguasai ilmu agama Islam secara mendalam dan mampu menguasai ilmu dan kitab yang sebagian besar berbahasa Arab.


Adapun pesantren modern (campuran) adalah pesantren yang memadukan ilmu agama dengan sistem pendidikan formal, seperti SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK.  


0 comments:

Posting Komentar