Ayo Hajar Selimut Polusi Akibat Sampah Makanan untuk Masa Depan Lebih Mapan

SUATU SIANG di penghujung 2010, cuaca begitu panas sehingga saya harus sering minum demi menghindari dehidrasi. Akibatnya, selama pesta pernikahan adik ipar di kampung itu, saya mesti bolak-balik ke toilet. Ketika berjalan ke toilet, saya menengok ke arah dapur (bayangkan bagian belakang rumah khas kampung yang luas). Seketika saya tertegun menyaksikan Bude Lipah yang sedang duduk di sebuah dingklik mungil. Ini jelas pemandangan yang tak mungkin ada di blok apartemen mewah, misalnya.


Saya bukan takjub melihat baju pestanya yang basah kuyup terkena air yang butek dan bau. Saya justru terpana melihat aktivitasnya bersama beberapa ibu yang lain. Mereka sibuk menyisihkan sisa-sisa makanan dari piring-piring bekas makan para tamu satu per satu. Bayangkan jika ada setidaknya 1.500 orang tamu yang datang. Hitungan itu pun belum termasuk anggota keluarga besar. 

Sisa makanan terbuang percuma. (Foto: kompas.com)

Fenomena sampah makanan di sekitar kita

Ada banyak sekali nasi bercampur sambal dan kuah rawon daging sapi, soto, atau kare ayam yang tidak habis dimakan. Ada juga sisa kerupuk yang melempem terkena kuah dan daging bekas gigitan. Selain itu, ada sisa-sisa kue atau jajanan pasar dan buah-buahan yang baru sebagian dimakan lalu dibuang. Minuman kemasan atau olahan pun mendapat perlakuan yang sama. Bude Lipah dan laskar pencuci piring itu sigap menyingkirkan sampah sisa makanan dan menaruhnya di sebuah bak besar, dengan bak lain yang siap menampung sampah yang seolah tak ada habisnya. 


Saat makan, saya tidak menemukan bentuk atau aroma yang aneh pada makanan-makanan tersebut sehingga tak ada alasan untuk tidak menyantapnya sampai habis. Bagi saya dan keluarga kecil kami, hanya ada dua rasa makanan: enak dan enak banget, hahaha. Semua lezat dan sedap. Maka saya heran melihat makanan tersisa dan terbuang percuma dalam jumlah yang sangat fantastis. Yang membuat miris adalah itu ternyata biasa terjadi, baik pada hidangan prasmanan maupun sajian siap santap di piring sebagaimana kebiasaan di beberapa daerah, termasuk desa suami saya di Lamongan, Jawa Timur. 


Di kampung, hajatan bisa digelar karena berbagai alasan, misalnya pernikahan, khitanan, pindahan rumah, akikah, walimah haji atau umrah, tahlilan (peringatan 7, 40, 100, atau 1000 hari orang meninggal dunia), dan lain-lain. Tahukah Anda biaya apa yang paling besar dikeluarkan pada acara ini? Ya, biaya makan untuk menjamu tamu! Ironisnya hajatan terus diadakan dengan sisa makanan yang juga meningkat padahal sampah makanan termasuk penyumbang terbesar polusi yang menyebabkan kian tebalnya gas rumah kaca dan semakin hari semakin kita rasakan dampak negatifnya. 

Budaya makan; sulit diubah, tapi bisa dibenahi

Sampah sisa makanan, ditambah dengan penggunaan kemasan makanan dari plastik atau styrofoam saat ini sudah menjadi ancaman besar bagi lingkungan, termasuk di kampung kami. Akumulasi sampah makanan salah satunya dipengaruhi oleh adat atau kebiasaan sebagian masyarakat untuk menyisakan makanan di piring atas dasar kesopanan. Tidak hanya sampah dari pesta/hajatan, hampir tiap rumah tangga pun menghasilkan sampah domestik setiap hari dari makanan yang tidak dihabiskan. 


Memang miris jika seseorang yang menyantap makanan di piringnya hingga tandas masih dianggap tabu atau rakus. Pola pikir ini harus dihapus pelan-pelan sebab sangat merugikan. Tanpa kita sadari sampah makanan ini termasuk penghasil polusi dan makin hari jumlahnya semakin mengkhawatirkan. Untuk bisa menghadirkan makanan di meja, dibutuhkan energi atau sumber daya cukup banyak mulai dari penanaman, pengolahan, hingga distribusi. Cara mengonsumsi pun kadang masih menyedot energi yang menghasilkan polusi dan mengancam kehidupan kita sendiri.



Sebagai contoh, gas metana (CH4) yang berasal dari bahan-bahan organik biasa ditemukan pada hasil pemecahan bakteri pada pertanian, perkebunan, dan limbah peternakan (contohnya kotoran sapi). Hanya saja, semakin banyak produksi hewan ternak, gas metana yang dihasilkan juga semakin meningkat. Gas-gas ini berfluorinasi hingga kemudian menghasilkan efek pemanasan yang sangat kuat, yaitu hingga 23.000 kali lebih besar dibanding karbon dioksida (CO2). 


Gas metana tersebut menempati urutan kedua dalam perusakan lingkungan dan termasuk penghasil gas rumah kaca. Gas-gas di atmosfer seperti metana dan karbondioksida bisa menahan panas matahari yang mengakibatkan panas matahari terperangkap di atmosfer bumi. Gas metana, baik yang alami atau buatan, menjadi penyebab utama perubahan iklim karena kedua gas tersebut berpengaruh terhadap meningkatnya pemanasan global. 

Manusia modern berselubung #SelimutPolusi 

“Saya dan suami sepakat pindah dari Gresik ke Lamongan ini karena ada rekomendasi dokter. Kami harus pindah ke tempat yang tidak terlalu tinggi tingkat polusi udaranya supaya proses penyembuhan anak saya yang sakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) bisa lebih cepat.” 

Dengan suara tercekat, ibu dari dua anak perempuan yang menjadi tetangga saya itu menceritakan kisah pilunya. Airmata terlihat menggenang di kedua matanya. Demi upaya penyembuhan, cukup banyak ongkos materiil dan nonmateriil yang harus dikeluarkan keluarga muda tersebut untuk memulihkan kondisi putri tercinta yang didera penyakit akibat polusi dan limbah industri.


Gresik dan Lamongantempat tinggal saya sejak 2017adalah dua kota yang saling terhubung, berbatasan langsung dan terletak di pesisir utara Pulau Jawa. Berbeda dengan Lamongan yang sebagian besar wilayahnya adalah area persawahan, tambak, dan pesisir laut, Gresik merupakan kota yang memiliki sejumlah kawasan industri sehingga hawanya lebih panas dan tingkat polusi di area tersebut cukup tinggi. 


Polusi udara mengancam habitat makhluk hidup semuanya. (Foto: stevepb/pixabay)

Wilayah industri, daerah permukiman beserta masyarakatnya kini merupakan bagian yang paling rentan terhadap berbagai penyakit dan bencana lingkungan akibat polusi ini. Akan tetapi, wilayah lain pun sesungguhnya menghadapi ancaman yang serupa tanpa kita sadari misalnya pencemaran air sungai oleh limbah domestik dan pemborosan makanan yang sebenarnya penyumbang polusi. 


Belum lagi ditambah dengan kebiasaan warga yang membakar sampah karena tidak semua desa memiliki manajemen pengolahan sampah, selain dibuang ke kolam yang biasanya terletak di belakang rumah sehingga berpotensi mencemarkan air tanah. Dalam hal ini, sistem hunian seperti apartemen mungkin lebih masuk akal sebab didukung oleh manajemen sampah yang lebih baik. 

Polusi penyebab perubahan iklim

Di tengah ancaman krisis ekonomi dunia dan kecamuk perang, kita sekarang dipusingkan oleh peralihan cuaca yang tidak menentu sebagai bagian dari perubahan iklim. Iklim kita pahami sebagai penanda keadaaan atmosfer dalam suatu kurun waktu tertentu dengan ukuran variabel kuantitas atau rata-rata pada curah hujan, temperatur, atau angin di suatu periode tertentu. Interaksi dengan faktor eksternal seperti erupsi vulkanik, variasi sinar matahari, serta faktor-faktor yang disebabkan oleh kegiatan manusia bisa mengubah iklim.


Selimut polusi membuat bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim. Bila pencemaran atau pengotoran lingkungan hidup manusia, baik pencemaran di udara berupa limbah gas atau asap, pencemaran di air, di darat maupun di tanah berupa sampah atau limbah dari bahan atau zat-zat beracun dan berbahaya kita biarkan, maka tinggal tunggu waktu kehancuran manusia. Perubahan iklim tidak main-main! 

Dampak perubahan iklim bagi manusia

Sebagai bagian dari iklim, pola cuaca jadi bagian penting pada kehidupan yang sangat berpengaruh pada tanaman dan pangan, air yang kita konsumsi, tempat tinggal serta berbagai aktivitas, dan kesehatan manusia. Dengan demikian, perubahan iklim punya dampak serius dalam kehidupan kita, baik secara individu maupun kolektif. Iklim bisa berubah semakin buruk jika manusia terus-menerus menggunduli hutan, membuang-buang energi, dan menggunakan sistem pertanian yang buruk.


Menurut Atap, perubahan iklim tanpa kendali sangat mungkin memicu kepunahan ekosistem pada spesies hewan dan tumbuhan sebesar 20-30 persen dan tentu imbasnya pada kita sebagai konsumen utama di alam semesta. Hal ini bisa terjadi jika metana dan karbondioksida di atmosfer bertambah serta kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1,5-2,5 derajat Celcius yang akan turut menaikkan tingkat keasaman laut. Organisme-organisme laut pun, seperti terumbu karang hingga berbagai spesies lain akan ikut terpengaruh sebab hidupnya bergantung pada ekosistem tersebut.


Akibat perubahan iklim yang drastis, kompleks perumahan kami yang ada di kota pun tak luput dari serangan banjir pada awal 2020 silam. Beberapa wilayah di Lamongan memang langganan banjir, tapi bukan di area kami. Biasanya air hanya menggenang sedikit di depan rumah, lalu surut ketika hujan reda. Namun awal pandemi kemarin, kami tak menduga air hujan akan menjadi air bah berminyak nan berbau busuk yang merangsek masuk ke dalam rumah hingga kami terpaksa mengungsi.   

 

Banjir bukan sekadar genangan air. (Foto: dok. pri)

Fakta tentang fenomena perubahan iklim ini diperkuat oleh pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam summit meeting di Amerika Serikat tanggal 19 April 2021 silam. Menyitir laporan Keadaan Iklim Global 2020 yang disusun oleh World Meteorological Organization (WMO), Antonio menyatakan bahwa tahun 2020 adalah salah satu tahun terpanas dalam sejarah. Kita sendiri merasakan betapa musim kemarau dan musim hujan datang tak menentu di Tanah Air.


Sedangkan ketua WMO Petteri Taalas menegaskan bahwa perubahan iklim yang berlangsung terus-menerus akan meningkatkan frekuensi peristiwa terkait krisis iklim yang berdampak pada munculnya kerugian sektor ekonomi dan kehidupan masyarakat dunia secara keseluruhan. Selain banjir yang melumpuhkan aktivitas ekonomi, kekeringan panjang juga mengancam ketahanan pangan. 


Belum lagi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang kerap terjadi, hal ini akan memperparah pemanasan global yang mempengaruhi iklim dan menjadi lingkaran setan. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), hutan yang terbakar memaksa binatang bermigrasi ke tempat lain yang berpotensi meningkatkan kontak dengan manusia sehingga penyebaran penyakit zoonosis semakin besar.


Misalnya, satwa liar bisa membawa virus rabies ke wilayah geografis baru di negara terkait. Lalu, pemanasan suhu di Alaska menyebabkan peningkatan populasi tikus yang menyebarkan penyakit cacar Alaska kepada manusia. Intinya, ketika suhu global meningkat, penyakit mematikan yang mengancam manusia seperti Ebola, demam Lassa, dan cacar monyet akan meningkat seiring dengan aktivitas manusia yang tak bertanggung jawab.


Kekeringan parah mengakibatkan air bersih langka tahun 2018 di Lamongan (Foto: dok. pri)

Satu hal yang tak boleh dilupakan pula adalah merosotnya sumber air bersih akibat kekeringan panjang (sebagaimana terjadi di daerah kami tahun 2018 silam). Pasokan air bersih yang layak dikonsumsi juga akan menyusut sebab banyak hutan yang semula berfungsi sebagai penyaring air kini berkurang jumlahnya akibat kebakaran atau illegal logging.

Apa yang harus dilakukan #UntukmuBumiku?

Sejak pencatatan oleh para ahli iklim mulai dilakukan pada tahun 1850-an, cuaca tiga dekade terakhir lebih hangat dibandingkan dekade sebelumnya di mana penyebab pemanasan global ini di antaranya adalah aktivitas manusia, seperti peningkatan emisi dan deforestasi atau penebangan hutan. Jika pohon yang membantu mengatur iklim dengan menyerap karbondioksida (CO2) dari atmosfer ditebangi tanpa antisipasi, maka karbon yang tersimpan di pohon juga akan dilepaskan ke atmosfer yang menambah efek rumah kaca bagi bumi.


Saya sering kali menasihati kedua buah hati bahwa sebagai rumah bersama, bumi karunia Tuhan ini harus kita rawat dengan memperhatikan pula hubungan dengan hewan, tumbuhan, dan alam secara keseluruhan. Predikat khalifah Tuhan di muka bumi bukan semata gagah-gagahan belaka, tetapi mengandung konsekuesi berupa tugas dan tanggung jawab besar untuk mengelola dan melestarikan bumi agar menjadi tempat yang layak dan nyaman untuk ditinggali dengan memanfaatkan sumber daya secara bijak—tanpa egoisme antroposentris. Putra bungsu saya pernah suatu kali bahkan berani menyatakan bahwa orang-orang yang merusak lingkungan sebagai orang-orang yang belum sadar literasi. Alasannya, mereka sudah tahu bahwa hal itu salah, tetapi mereka tetap saja lakukan kerusakan itu. Hmmm, sepertinya saya harus menyetujui pendapatnya itu.


Itulah sebabnya jika melihat kenyataan bahwa bumi saat ini semakin panas dan begitu banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh sebagian manusia yang menuruti hawa nafsunya untuk menguasai bumi dan mengeksploitasinya tanpa batas, maka saatnya kita bertindak dengan berkolaborasi. Kolaborasi memungkinkan pekerjaan berat jadi lebih ringan, dan lebih cepat dalam pencapaian target.  


Kesadaran ini memang harus dimunculkan secara terus-menerus dalam diri pribadi dan didukung tindakan nyata. Tak harus besar, hal-hal kecil di sekitar kita pun sangat berarti, yang akan membentuk kerangka kerja sama atau kolaborasi dengan berbagai pihak, bahkan termasuk para pembuat kebijakan yang efeknya bisa lebih masif. Hierarki ini harus berjalan secara simultan karena perubahan iklim sudah memberikan dampak kerusakan besar yang bisa kita saksikan hampir di semua wilayah.

Hutan, solusi tangkal polusi dan perubahan iklim

Keberadaan hutan sangat membantu mencegah terjadinya polusi air dan menghambat terjadinya erosi. Hutan membantu menyimpan pasokan air karena menyerap air hujan pada musim penghujan dan melepaskannya di musim kemarau untuk dipanen manusia. Hutan juga berfungsi sebagai rumah bagi banyak satwa liar, mulai dari serangga, burung, hingga berbagai tanaman endemik.


Hutan adalah pelindung satwa dan penyelamat manusia. (Foto: dok. pri)

Keanekaragaman hayati di hutan sangat penting sehingga perubahan iklim memberi dampak buruk pada kondisi hutan dan ekosistem di dalamnya. Jumlah makanan dan produk hutan yang kita andalkan juga akan terus mengalami penurunan sehingga dampak ekonomi, sosial, dan pangan tak bisa dihindari.


Dari tahun ke tahun fungsi hutan sebagai pengatur sistem hidrologi dan penyaring air kini kian melemah. Kuantitas air tanah semakin berkurang dan kualitas air pun terus menurun. Berkurangnya keanekaragaman hayati di hutan akan membuat sistem alami tidak berjalan efektif. Tanaman semakin menderita karena perubahan iklim juga meningkatkan jumlah penyakit dan hama. 


Semakin berkembang luasnya penyakit atau munculnya pandemi ditengarai karena tempat tinggal alami inang bagi organisme virus-virus yang ada di hutan kini semakin tersudut sehingga kini berpindah dan menyebar ke habitat manusia. Oleh sebab itu, kini sudah waktunya kita bersama-sama memperbaiki kondisi hutan yang semakin rusak dan berkurang agar kehidupan menjadi lebih baik, bukan hanya untuk menangkal polusi tetapi juga menjaga kelestariannya demi masa depan anak cucu nanti. 

Sampah makanan dan kontributor polusi 

Bukan karena makanan berlimpah, lantas kita bisa seenaknya menyia-nyiakannya, apalagi jika bahan makanan itu kita peroleh dari hutan. Sampah makanan biasanya berasal dari industri makanan seperti rumah makan, perusahaan makanan, supermarket, pasar maupun perumahan. Sisa (limbah) makanan yang terbuang apabila dibiarkan lambat laun akan menghasilkan gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2) dari bakteri-bakteri pengurai sampah.



Dari total komposisi nasional, 50% sampah di Indonesia dihasilkan dari sisa makanan yang titik kulminasinya saat perayaan hari besar, seperti Lebaran. Jika seluruh sampah makanan dunia dikumpulkan dan diibaratkan sebuah negara, luasnya bisa diibaratkan negara Tiongkok atau Kanada dan menjadi menyumbang polusi karbon terbesar. Bappenas menemukan data bahwa emisi yang timbul karena limbah makanan di Indonesia sendiri sebesar 1.702,9 Mt CO2-Ek, atau mudahnya, setara dengan luas Pulau Jawa dan Nusa Tenggara Barat jika ditanami pohon.


Berdasarkan data The Economist Intelligence Unit, Indonesia menjadi penghasil sampah makanan (Food Loss And Waste or FLW) kedua terbesar di dunia, yang diapit oleh Arab Saudi pada peringkat pertama dan Amerika Serikat pada peringkat ketiga. Adapun tiga negara teratas yang mampu mengurangi sampah makanannya adalah Prancis, Australia, dan Afrika Selatan. Data ini adalah sinyal penting agar kita lebih waspada sebab bisa saja kita mengalami krisis energi dan pangan seperti Inggris saat ini.


Merespons data ini, Kementerian PPN/Bappenas RI lantas membuat kajian lanjutan terhadap riwayat FLW yang terjadi di Indonesia, bahkan sampai 20 tahun ke belakang. Dari penelusuran data yang dilakukan, kerugian ekonomi Indonesia akibat mubazir pangan adalah sebesar 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional atau setara dengan Rp213-551 triliun per tahun. Sungguh ironis sekali karena menurut World Hunger Index 2021, tingkat kelaparan di Indonesia nomor tiga di Asia Tenggara, sementara masih banyak makanan dibuang-buang di sini. 

Tantangan mengikis kebiasaan membuang makanan 

The Emissions Gap Report 2018 dari UN Environment menyatakan bahwa pengelolaan sistem pangan dari produksi hingga konsumsi berpotensi mengurangi CO2 hingga 6,7 gigaton. Kita membutuhkan transformasi pangan global dalam 12 tahun ke depan. Apabila limbah makanan dapat dikurangi disertai diet dan pola hidup sehat melalui penurunan asupan protein hewani, maka hal itu akan potensial memperbaiki kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab perubahan iklim, yang dampak negatifnya akan kembali kepada kita sendiri. 



Pemerintahan di seluruh dunia dirasa perlu memberikan insentif khusus pada bidang pertanian agar lebih tanggap terhadap iklim dan berkelanjutan. Langkah ini dapat mengakhiri ketidakadilan situasi pangan karena sekarang lebih dari 820 juta orang kekurangan gizi. Ironis sekali, bukan? Ketika konsumen di negara maju lebih banyak menjadi pembuang makanan, di belahan dunia yang lain—khususnya di negara berkembang—terjadi kehilangan atau pembuangan makanan, bahkan sebelum makanan itu sampai ke tangan konsumen, misalnya akibat gagal panen, kematian hewan ternak, atau distribusi yang terhambat akibat bencana alam.


Sebagai #MudaMudiBumi dan warga dunia, kita sangat bisa mengambil bagian dengan melakukan langkah-langkah pribadi berupa hal-hal yang cukup sederhana. 



1. Mengambil makanan secukupnya dan menghabiskan makanan yang sudah diambil

Saya melihat kampanye semacam ini sudah dilakukan di beberapa tempat, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan. Ketika berkunjung ke sebuah sekolah internasional kerja sama Indonesia dan Turki di wilayah Tangerang Selatan tahun 2015 silam, saya melihat tulisan besar di dinding kantin sekolah tersebut:


"Take What You Need, Eat What You Take." 


Saya melihat etika makan dan etika terhadap makanan benar-benar diterapkan oleh semua pihak di sekolah tersebut. Setiap siswa atau guru hanya mengambil porsi yang sanggup mereka habiskan, bukan yang ingin mereka makan. Setelah makan, meja nyaris tak menyisakan sampah sebab masing-masing langsung memasukkan sampah (misalnya duri ikan, tulang, dll.) di sebuah kantong besar di pojok ruangan lalu menyerahkan piring kosong kepada petugas di sebelahnya. 


Dengan cara seperti ini, sisa makanan bisa ditekan dan tugas penjaga kantin menjadi ringan. Praktik ini mengembuskan optimisme bahwa sumbangsih luar biasa terhadap penanganan Food Loss and Waste (FLW) sangat mungkin kita lakukan mulai dari diri sendiri, dari lingkup paling kecil.


Selain berdampak positif pada alam, ini sekaligus menjadi cerminan rasa syukur terhadap makanan pemberian Tuhan, yang saya yakin diajarkan dalam semua agama atau keyakinan. Secara implikatif, tindakan ini juga wujud solidaritas terhadap warga di belahan dunia lain yang kekurangan makanan.

2. Konsumsi makanan sehat yang beragam 

Memilih makanan yang beragam akan memberi efek yang baik terhadap ketahanan pangan. Kita, misalnya, tidak hanya bergantung pada beras sebagai pemasok karbohidrat, tetapi bisa juga melirik ubi, ganyong, gembili, porang, talas, dan jali-jali. Di sinilah urgensinya menghidupkan hutan kembali yang pada akhirnya bisa menawarkan keragaman pangan selain berfungsi ideal secara ekologis. Kita bisa terjun langsung bersama-sama LSM atau komunitas pelestarian hutan dengan ikut kegiatan menanam pohon atau berdonasi untuk adopsi pohon. 


Jika hutan kembali asri, cadangan pangan akan lebih bervariasi untuk menopang ketahanan pangan masa depan. Di sisi lain, kreativitas pengolahan makanan pun perlu ditumbuhkan sehingga menampilkan makanan, bahkan yang berasal dari bahan alami, dalam bentuk dan cita rasa terbaiknya. Pakar dan praktisi bisa dilibatkan melalui pelatihan atau lokakarya berbasis pemberdayaan masyarakat.

3. Hindari bersikap impulsif

Makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang merupakan salah satu strategi untuk menghindari adanya limbah makanan, terutama hidangan yang tadinya tampak begitu menggiurkan. Selain menyehatkan, prinsip tersebut menghindari sikap impulsif terhadap makanan. Jika masih lapar, tunggulah 15-20 menit setelah makan untuk merasakan kenyang. Hal tersebut membuat kita benar-benar menikmati makanan dan lebih mensyukuri anugerah berupa makanan yang kita terima. 

4. Belanja sesuai kebutuhan dan mengolah sisa bahan makanan

Belanja sesuai dengan kebutuhan tentu hanya bisa diukur oleh pribadi masing-masing dan hal ini butuh latihan dan kebijaksanaan. Lewat praktik dan latihan, kita dapat meminimalisasi pembuangan makanan yang tidak dibutuhkan atau kurang dinikmati. Sebagaimana pula halnya kebutuhan pakaian, alih-alih tergiur oleh mode atau tren sesaat, coba pikirkan betapa repotnya punya banyak baju padahal kita akhirnya kerap hanya memakai baju yang itu-itu saja. 


Selain menghindari belanja barang murah tapi cepat rusak, kita perlu mengupayakan pemanfaatan sisa makanan dengan cara diolah, misalnya sisa nasi dijadikan rengginang atau olahan lain yang masih layak.

Kolaborasi demi mengatasi perubahan iklim

Tidak semua orang memiliki kesempatan menyusun kebijakan publik untuk mengurangi polusi demi mengatasi perubahan iklim. Akan tetapi, itu bukan berarti kita tak bisa melakukan apa pun secara pribadi untuk mengurangi kerusakan akibat limbah makanan ini. Setiap orang punya peran penting dalam rantai konsumsi dengan cara bijak makan dan mengolah limbah atau sampah sebagai sumbangan signifikan terhadap penurunan polusi yang mematikan. 



Tak bisa dimungkiri kebijakan publik memiliki efek yang lebih luas. Kami sekeluarga menyaksikan begitu banyak orang yang masih belum menyadari pentingnya upaya mengatasi food loss and waste di sekitar kami. Sering kali saat berdiskusi atau mengobrol bersama anak-anak dan suami, saya berandai-andai menjadi pengambil kebijakan publik. Kami sangat kagum kepada para pengambil kebijakan publik di beberapa negara yang sudah berupaya dengan langkah nyata mengatasi hal ini. 


Sebenarnya perihal sampah di Indonesia sudah diatur dalam PP Nomor 81 Tahun 2012 Pasal 10 Ayat 2 bahwa setiap orang wajib melakukan pengurangan dan penanganan sampah. Ada pula Pasal 11 Ayat 1 yang menjelaskan bahwa pengurangan sampah meliputi timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Pada pasal 16, penanganan sampah meliputi kegiatan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Hanya saja aturan ini belum mengungkapkan peran penting dan pembagian tugas yang jelas dan realistis untuk dilakukan oleh masing-masing pihak, warga masyarakat dan pemerintah (pusat atau daerah).


Kita bisa meniru langkah-langkah berupa strategi yang dilakukan oleh pemerintah Singapura, misalnya, yang melalui National Environment Agency (NEA) mencanangkan program “Love Your Food. Waste Less. Save More.” pada tahun 2015. Strategi atau cara mengurangi dan mengolah sampah makanan tersebut bisa kita sesuaikan dengan kondisi masyarakat kita. Beberapa strategi tersebut di antaranya sebagai berikut.

1. Mencegah dan mengurangi sampah dari sumbernya

Kemasan makanan yang bisa dipakai lagi. (Foto: cairofood.id)

Pencegahan untuk mengurangi sampah makanan sejak awal di antaranya dengan membuat label data kedaluwarsa yang jelas tertera pada kemasan produk makanan. Kesadaran dan kepedulian para produsen makanan akan hal ini mencegah masyarakat untuk menyimpan makanan terlalu lama hingga sering kali terlupa. Kemasan makanan pun dipilih dari bahan-bahan yang ramah lingkungan dan sebisa mungkin bukan hanya digunakan untuk sekali pakai saja.

2. Membentuk #TeamUpForImpact untuk mendistribusikan kelebihan makanan 

Melihat begitu banyak makanan yang sebenarnya masih layak, tetapi terbuang percuma,  sebaiknya ada regulasi yang dibuat terkait makanan-makanan yang tidak terjual dari para pedagang atau retailer, meniru negara-negara maju seperti Italia dan Prancis. Makanan-makanan itu bisa didonasikan kepada lembaga-lembaga yang siap menyalurkan makanan-makanan tersebut kepada pihak yang membutuhkan, seperti panti asuhan, pengungsian, shelter atau rumah singgah para tunawisma, dan lain sebagainya.

3. Mendaur ulang sampah makanan 

Kebijakan semacam ini akan lebih baik jika diterapkan pada tiap rumah tangga. Beberapa hal terkait daur ulang sampah, termasuk sampah makanan ini sudah keluarga kami lakukan. Di antaranya dengan menyulapnya menjadi kompos. Sampah-sampah makanan yang biasanya berupa kulit buah atau bumbu dapur, ampas kopi, ampas kelapa, cangkang telur, dan lain-lain ternyata bisa dijadikan kompos dan pupuk yang membuat tanaman kami semakin bertambah subur. Kulit ari bawang merah.putih bahkan efektif sebagai pestisida alami.


Memanfaatkan limbah agar lebih berguna. (Foto: dok. pri)

Untuk sampah makanan basah, upaya ini bisa dibantu dengan menggunakan komposter, atau yang sedang tren saat ini, meminta bantuan maggot (belatung pengurai sampah yang baik). Maggot ini diyakini tidak mengandung penyakit karena lahir dari lalat BSF yang berbeda dengan belatung sampah yang membuat pencemaran dan diare.


Walhasil, limbah sampah makanan jadi semakin berkurang dan sekalipun masih tetap ada, sampah tersebut bisa menyuburkan tanaman serta menghasilkan tanaman penghasil oksigen yang memberi keindahan dan kesegaran plus buah-buahan. Alangkah luar biasa jika langkah kecil ini menjadi gerakan nasional. 

4. Energi daur ulang

Banyaknya limbah makanan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah bisa dimanfaatkan untuk menciptakan energi dalam bentuk biodiesel. Namun, khusus untuk energi daur ulang ini, pemerintah punya wewenang dan sarana serta prasana atau infrastruktur yang bisa lebih memadai. Peralatan dan teknologi terkait energi daur ulang tentu memerlukan biaya besar yang hanya bisa dilakukan dan disediakan melalui kebijakan pemerintah, baik daerah maupun pusat.

Tak ada yang tak mungkin jika kita bergerak bersama

Sampah makanan mungkin pemandangan lumrah dan menjadi femonena di mana-mana. Tanpa disadari, limbah ini turut memicu polusi dan perubahan iklim terbesar, baik selama proses produksi, penyajian yang berlebihan (left over) maupun kesalahan perencanaan, seperti makanan kedaluwarsa, kesalahan produksi, atau produk gagal bisa kita minimalisasi. Saya, dan saya pun yakin kita semua, bisa memberi andil dengan mengatasi sampah makanan melalui pola 3R: reduce (mengurangi), reuse (memilah atau menggunakan kembali), dan recycle (mengolah). 


Perlakuan yang sama (3R) secara kompak terhadap semua sampah, termasuk sampah makanan, bisa memperbaiki kondisi bumi yang kini sedang mengalami kerusakan masif. Kita tentu tak ingin mewariskan bumi yang kotor, dikepung selimut polusi, dan penuh penyakit akibat eksploitasi tanpa kendali. 


Semua berawal dari kesadaran: mau mencintai dan berbagi. Yaitu menyayangi bumi setulus mungkin dan membagikan rahmat Tuhan di dalamnya terutama untuk anak cucu kelak. Yuk kita bergerak bersama untuk menghajar selimut polusi sebelum ia jadi raksasa yang membekap kita tanpa ampun dan menghanguskan bumi tak bersisa.


Daftar bacaan:

Bumiku Sehat, Aku Gembira. Efa Refnita, dkk. Dandelion Publisher, 2020. 

https://www.gramedia.com/literasi/perubahan-iklim-global/#1_Kepunahan_Ekosistem

https://betahita.id/news/detail/6125/hari-bumi-10-dampak-perubahan-iklim-bagi-indonesia.html.html

https://www.cdc.gov/ncezid/what-we-do/climate-change-and-infectious-diseases 

0 komentar:

Posting Komentar